Istilah post-graduated
syndrome tidak akan pernah kita temukan di literatur ilmu kejiwaan manapun.
Post-graduated syndrome cuma istilah bikin-bikinan;
serupa dengan post-power syndrome
(keadaan dimana orang yang baru turun dari kekuasaan tetapi masih menyimpan
nafsu berkuasa), misalnya.
Tatkala orang berkata kepada anda, “Ah, lo kena post-graduated syndrome, tuh!”, bisa
jadi lantaran anda dilihat masih terbuai dengan senggangnya masa kuliah, dimana
hidup hanya punya sedikit beban. Maksudnya, beban-beban itu cuma sekitar masuk
kuliah pukul 7 pagi, tanggung jawab di organisasi, atau sulitnya menemui dosen
pembimbing skripsi.
Lain dari itu adalah kenikmatan. Ambil contoh, dua bulan periode
Kuliah Kerja Nyata alias liburan berkedok pengabdian masyarakat. Mahasiswa Universitas
Gadjah Mada tahu betul soal ini. Banyak anak kampus lain dengki melihat
unggahan mahasiswa UGM bertagar #kkn di Instagram atau Facebook. Soalnya,
kebanyakan yang diunggah adalah 1) foto pemandangan (pantai, gunung, hutan
mangrove, dkk.), 2) foto diri berlatar pemandangan (leyeh-leyeh di hammock di
pinggir pantai sambil berbikini, misalnya), atau 3) foto close-up warga setempat (menunjukkan sisi humanisme –fak!!—dan mengundang ratusan “like”).
Hari ini, sudah 45 hari, 7 jam, 38 detik saya jadi Sarjana
Hukum dari UGM. Dalam waktu yang sama, seekor ayam betina sudah dua kali menetaskan
telur, Liverpool telah memecat Brendan Rodgers, dan bendera Palestina untuk
pertama kali dikibarkan di muka gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York. Selama
waktu itu juga, saya sering bertanya kepada diri sendiri, apakah saya telah mengalami
post-graduated syndrome? Apakah saya
telah merasakan gejalanya? Atau, apakah sama sekali saya tidak terjangkit?
Kegiatan yang paling mungkin dilakukan dalam periode post-graduated adalah liburan. Nafsu berlibur, jelas ada. Saat sebelum saya diwisuda
tanggal 21 Agustus silam, saya telah berencana bertamasya ke Kepulauan Banda
Neira, Maluku. Waktu itu, di sana kebetulan ada seorang kawan dekat yang sedang
KKN. Saya sudah menggali informasi ihwal transportasi, objek wisata, dan
kuliner khasnya. Ke sana naik KM Tidar, kelas ekonomi, tanggal 24 Agustus, lima
hari perjalanan. Bukan masalah besar lantaran tahun lalu saya menggunakan
angkutan sejenis ke Kepulauan Natuna untuk KKN. Lalu saya akan menghabiskan
lima hari di sana. Menginapnya di pondokan yang ditumpangi kawan saya itu. Serta
rencana-rencana lain yang sudah saya guratkan di notes pada Xperia C4 saya.
But, excitement has to
be muted. Saya tidak jadi berangkat ke Banda Neira lantaran datang sebuah
surat elektronik dari satu perusahaan media massa yang saya lamar. Isinya,
panggilan tes wawancara untuk posisi reporter pada 5 September 2015. Nama
perusahaan itu sudah tertera di dinding kamar kos saya sejak tahun lalu. Motivasi
saya mengerjakan skripsi, agar bisa secepat mungkin jadi bagian perusahaan itu.
Jelas, arti berlibur ke timur Indonesia tak sebanding dengan kesempatan menjadi
wartawan koran nasional, yang tidak datang setiap hari.
“Cangkeman. Payah kowe, katanya mau ke Banda Neira,” kata
kawan saya yang lagi leyeh-leyeh di Banda Neira. Waktu itu, saya belum memberi
kabar kepadanya perihal panggilan wawancara kerja yang membatalkan semua rencana
pelesir. “Yah, gimana, ini ada urusan masa depan :( Lain kali lah ya gw sama lo
ke sana,” balas saya. Klasik.
Sejak itu, saya cuma memikirkan “urusan masa depan”. Saya
tidak memasang target, misalnya, bulan sekian saya harus dapat kerja. Namun,
angan masih sama: menjadi wartawan. Entah pada media massa mana saya bekerja, atau,
di kota mana saya ditempatkan.
Dengan alam pikiran semacam itu, apakah saya bisa dibilang
tidak terserang post-graduated syndrome?
Saya memupuk optimisme sejak datangnya panggilan wawancara itu. Optimistis
bahwa dalam waktu dekat saya resmi menyandang pekerjaan sebagai reporter. Keyakinan
itu semakin menggelembung tatkala saya lolos pada tahap wawancara. Begitu pun
dengan babak-babak berikutnya, mulai dari tes linguistik (Bahasa Indonesia dan
Inggris), tes pengetahuan umum, hingga terakhir, psikotes.
Sampai saya menulis ini, hasil psikotes, yang diadakan pada
7 September silam, belum juga diumumkan. Setelah itu, hanya ada tahap tes
kesehatan sebelum resmi jadi wartawan.
Tiga pekan pertama setelahnya, saya masih santai. Toh, kata staf HRD yang saya tanya,
hasil psikotes akan diumumkan awal Oktober lantaran menunggu hasil seleksi di
kota-kota lain. Selain di Yogyakarta, pencarian reporter baru oleh perusahaan
dilakukan di Surabaya, Semarang, Bandung, dan Jakarta. Saya mengikuti proses
seleksi di Yogyakarta, kota pertama yang didatangi.
Waktu senggang, saatnya menekuni hobi-hobi yang lama terlantar; membaca, menonton film, dan.... berpelesir. Saya telah menetapkan beberapa buku untuk dibaca, yaitu:
1) Crime And Punishment (Fyodor Dostoyevsky);
2) Gulliver's Travel (Jonathan Swift);
3) Jejak Langkah (Pramoedya Ananta Toer);
4) Football Against Enemy (Simon Kuper);
Selain itu ada koran (setiap pagi), majalah TEMPO (saban awal pekan), dan artikel-artikel Flipboard (kapan saja ketika ingin).
Daftar film lebih membludak. Ada keinginan membabat habis semua film-film dari sineas idola, Woody Allen. Selain itu, muncul pula hasrat mengulik karya Steven Soderbergh, Luis Bunuel, Ingmar Bergman, dan Alexander Tarkovsky.
Sejauh ini berpelesir baru sekali. Beberapa hari setelah wisuda saya bersepeda motor sendirian ke Pantai Pringjono, Gunungkidul. Namun karena pantai itu tidak bisa dijangkau dengan kendaraan apa pun (letaknya di balik bukit), saya bermalam di Pantai Nguyahan di sebelahnya. Mungkin, kisah di sana bakal saya tuliskan kali lain.
Kembali ke post-graduated syndrome. Sekelebat, dengan barisan kegiatan seperti di atas, saya terlihat seperti seorang sarjana yang gembira. Status sebagai pengangguran bukan jadi aral menjalani hidup seperti orang sibuk.
Namun, perlu dicatat: saya tidak "disibukkan" tetapi "menyibukkan". Lama-kelamaan, kata "menyibukkan" semakin terasa menyedihkan. Semangat untuk selalu "sibuk" setiap hari perlahan lumer. Mungkin saja lantaran hingga kini saya masih jadi bagian dari "ribuan sarjana hukum pencari kerja yang lulus setiap tahunnya di Indonesia". Angka yang belum rigid, jika menghitung lulusan-lulusan dari perguruan tinggi bermasalah di negara ini alias kampus bodong. Jumlah itu bakal lebih banyak lagi kalau diikutkan pula sarjana lulusan tahun sebelumnya yang (mungkin) masih menganggur.
Post-graduated syndrome mulai datang mengebiri harapan.
Setiap pagi, bacaan saya bukan lagi koran.
Saban bangun tidur, yang saya pelototi sekarang adalah situs-situs lamaran pekerjaan.
YOGYAKARTA, 22.40 WIB
No comments:
Post a Comment