October 6, 2015

Sarjana

Istilah post-graduated syndrome tidak akan pernah kita temukan di literatur ilmu kejiwaan manapun. Post-graduated syndrome cuma istilah bikin-bikinan; serupa dengan post-power syndrome (keadaan dimana orang yang baru turun dari kekuasaan tetapi masih menyimpan nafsu berkuasa), misalnya.


Tatkala orang berkata kepada anda, “Ah, lo kena post-graduated syndrome, tuh!”, bisa jadi lantaran anda dilihat masih terbuai dengan senggangnya masa kuliah, dimana hidup hanya punya sedikit beban. Maksudnya, beban-beban itu cuma sekitar masuk kuliah pukul 7 pagi, tanggung jawab di organisasi, atau sulitnya menemui dosen pembimbing skripsi.

Lain dari itu adalah kenikmatan. Ambil contoh, dua bulan periode Kuliah Kerja Nyata alias liburan berkedok pengabdian masyarakat. Mahasiswa Universitas Gadjah Mada tahu betul soal ini. Banyak anak kampus lain dengki melihat unggahan mahasiswa UGM bertagar #kkn di Instagram atau Facebook. Soalnya, kebanyakan yang diunggah adalah 1) foto pemandangan (pantai, gunung, hutan mangrove, dkk.), 2) foto diri berlatar pemandangan (leyeh-leyeh di hammock di pinggir pantai sambil berbikini, misalnya), atau 3) foto close-up warga setempat (menunjukkan sisi humanisme –fak!!—dan  mengundang ratusan “like”).    

Hari ini, sudah 45 hari, 7 jam, 38 detik saya jadi Sarjana Hukum dari UGM. Dalam waktu yang sama, seekor ayam betina sudah dua kali menetaskan telur, Liverpool telah memecat Brendan Rodgers, dan bendera Palestina untuk pertama kali dikibarkan di muka gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York. Selama waktu itu juga, saya sering bertanya kepada diri sendiri, apakah saya telah mengalami post-graduated syndrome? Apakah saya telah merasakan gejalanya? Atau, apakah sama sekali saya tidak terjangkit?

Kegiatan yang paling mungkin dilakukan dalam periode post-graduated adalah liburan. Nafsu berlibur, jelas ada. Saat sebelum saya diwisuda tanggal 21 Agustus silam, saya telah berencana bertamasya ke Kepulauan Banda Neira, Maluku. Waktu itu, di sana kebetulan ada seorang kawan dekat yang sedang KKN. Saya sudah menggali informasi ihwal transportasi, objek wisata, dan kuliner khasnya. Ke sana naik KM Tidar, kelas ekonomi, tanggal 24 Agustus, lima hari perjalanan. Bukan masalah besar lantaran tahun lalu saya menggunakan angkutan sejenis ke Kepulauan Natuna untuk KKN. Lalu saya akan menghabiskan lima hari di sana. Menginapnya di pondokan yang ditumpangi kawan saya itu. Serta rencana-rencana lain yang sudah saya guratkan di notes pada Xperia C4 saya.

But, excitement has to be muted. Saya tidak jadi berangkat ke Banda Neira lantaran datang sebuah surat elektronik dari satu perusahaan media massa yang saya lamar. Isinya, panggilan tes wawancara untuk posisi reporter pada 5 September 2015. Nama perusahaan itu sudah tertera di dinding kamar kos saya sejak tahun lalu. Motivasi saya mengerjakan skripsi, agar bisa secepat mungkin jadi bagian perusahaan itu. Jelas, arti berlibur ke timur Indonesia tak sebanding dengan kesempatan menjadi wartawan koran nasional, yang tidak datang setiap hari.

Cangkeman. Payah kowe, katanya mau ke Banda Neira,” kata kawan saya yang lagi leyeh-leyeh di Banda Neira. Waktu itu, saya belum memberi kabar kepadanya perihal panggilan wawancara kerja yang membatalkan semua rencana pelesir. “Yah, gimana, ini ada urusan masa depan :( Lain kali lah ya gw sama lo ke sana,” balas saya. Klasik.

Sejak itu, saya cuma memikirkan “urusan masa depan”. Saya tidak memasang target, misalnya, bulan sekian saya harus dapat kerja. Namun, angan masih sama: menjadi wartawan. Entah pada media massa mana saya bekerja, atau, di kota mana saya ditempatkan.

Dengan alam pikiran semacam itu, apakah saya bisa dibilang tidak terserang post-graduated syndrome? Saya memupuk optimisme sejak datangnya panggilan wawancara itu. Optimistis bahwa dalam waktu dekat saya resmi menyandang pekerjaan sebagai reporter. Keyakinan itu semakin menggelembung tatkala saya lolos pada tahap wawancara. Begitu pun dengan babak-babak berikutnya, mulai dari tes linguistik (Bahasa Indonesia dan Inggris), tes pengetahuan umum, hingga terakhir, psikotes.

Sampai saya menulis ini, hasil psikotes, yang diadakan pada 7 September silam, belum juga diumumkan. Setelah itu, hanya ada tahap tes kesehatan sebelum resmi jadi wartawan.

Tiga pekan pertama setelahnya, saya masih santai. Toh, kata staf HRD yang saya tanya, hasil psikotes akan diumumkan awal Oktober lantaran menunggu hasil seleksi di kota-kota lain. Selain di Yogyakarta, pencarian reporter baru oleh perusahaan dilakukan di Surabaya, Semarang, Bandung, dan Jakarta. Saya mengikuti proses seleksi di Yogyakarta, kota pertama yang didatangi.

Waktu senggang, saatnya menekuni hobi-hobi yang lama terlantar; membaca, menonton film, dan.... berpelesir. Saya telah menetapkan beberapa buku untuk dibaca, yaitu:
1) Crime And Punishment (Fyodor Dostoyevsky);
2) Gulliver's Travel (Jonathan Swift);
3) Jejak Langkah (Pramoedya Ananta Toer);
4) Football Against Enemy (Simon Kuper);
Selain itu ada koran (setiap pagi), majalah TEMPO (saban awal pekan), dan artikel-artikel Flipboard (kapan saja ketika ingin). 

Daftar film lebih membludak. Ada keinginan membabat habis semua film-film dari sineas idola, Woody Allen. Selain itu, muncul pula hasrat mengulik karya Steven Soderbergh, Luis Bunuel, Ingmar Bergman, dan Alexander Tarkovsky. 

Sejauh ini berpelesir baru sekali. Beberapa hari setelah wisuda saya bersepeda motor sendirian ke Pantai Pringjono, Gunungkidul. Namun karena pantai itu tidak bisa dijangkau dengan kendaraan apa pun (letaknya di balik bukit), saya bermalam di Pantai Nguyahan di sebelahnya. Mungkin, kisah di sana bakal saya tuliskan kali lain.   

Kembali ke post-graduated syndrome. Sekelebat, dengan barisan kegiatan seperti di atas, saya terlihat seperti seorang sarjana yang gembira. Status sebagai pengangguran bukan jadi aral menjalani hidup seperti orang sibuk. 

Namun, perlu dicatat: saya tidak "disibukkan" tetapi "menyibukkan". Lama-kelamaan, kata "menyibukkan" semakin terasa menyedihkan. Semangat untuk selalu "sibuk" setiap hari perlahan lumer. Mungkin saja lantaran hingga kini saya masih jadi bagian dari "ribuan sarjana hukum pencari kerja yang lulus setiap tahunnya di Indonesia". Angka yang belum rigid, jika menghitung lulusan-lulusan dari perguruan tinggi bermasalah di negara ini alias kampus bodong. Jumlah itu bakal lebih banyak lagi kalau diikutkan pula sarjana lulusan tahun sebelumnya yang (mungkin) masih menganggur.    

Post-graduated syndrome mulai datang mengebiri harapan. 

Setiap pagi, bacaan saya bukan lagi koran.

Saban bangun tidur, yang saya pelototi sekarang adalah situs-situs lamaran pekerjaan.


YOGYAKARTA, 22.40 WIB

          



No comments:

Post a Comment