October 7, 2015

DIARI FILM #1: Konformis Itu Memabukkan...



Il Conformista (The Conformist)
Tahun produksi: 1970
Sutradara: Bernardo Bertolucci
Produser: Giovanni Bertolucci, Maurizio Lodi-Fe

Konformitas berhubungan erat dengan tendensi manusia untuk tetap bertahan dalam lingkungan sosialnya. Kasarnya, konformitas dipilih manusia guna mencapai sebuah eksistensi ataupun mendapatkan apresiasi dari lingkungannya, meski tak selalu sesuai dengan idealisme diri.  

Beberapa pemikir ulung seperti Stanley Migram, John M Sheperd, sampai Soerjono Soekanto turut mendefinisikan konformitas menurut pemikirannya masing-masing. Dari ketiganya, saya menyimpulkan, terdapat benang merah yang terdiri atas tiga unsur: ‘penyesuaian diri’, ‘ekspektasi kelompok’, dan ‘nilai atau norma secara umum’.

Marcello “Dottore” Clerici (Jean-Louis Trintignant), merupakan simbol konformitas sendiri. Sedikit banyak, sikap itu dipengaruhi oleh ideologi negaranya, Italia, yaitu fasisme. Meskipun dipertanyakan oleh sahabatnya, Italo (Jose Quaglio), Marcello tetap teguh pada keinginannya menjadi agen rahasia fasisme dibawah komando Benito Mussolini. 

Begitu diterima menjadi bagian dari rezim Il Duce, Marcello diminta untuk menghabisi nyawa Luca Quadri (Enzo Tarascio), seorang anti-fasisme. Luca tinggal di Perancis, kabur dari tanah airnya. Kenyataannya, Luca tak lain adalah dosen Marcello ketika mahasiswa. Ironis? Memang demikian, jika didasarkan pada etika maupun moralitas umum manusia. Tetapi, bukan sesuatu yang absurd jika abstraksi sosial seperti fasisme menjadi etiknya. Fasisme kemudian menggeser keluhuran moralitas, dimana ‘baik’ dan ‘buruk’ dapat disimpulkan secara statis. Sebuah pergeseran nilai yang tetap ‘terjaga’ hingga dewasa ini.

Tindak-tanduk Marcello mewakili tiga unsur konformitas yang sudah disebutkan sebelumnya. Menjadi agen rahasia fasisme adalah bentuk penyesuaian diri Marcello terhadap fasisme, nilai atau norma umum pada saat itu. Meskipun tidak digambarkan, sebelumnya Marcello adalah seorang idealis atau anti-fasisme, pilihan Marcello tidak bersambut pujian dari sekitarnya. Ambil contoh, sikap mempertanyakan dari Italo. Kegusaran Italo menunjukkan, bentuk penyesuaian diri Marcello bukan sesuatu yang ‘wajar’. Setidaknya menurut pemikiran sang sahabat. 

Bagaimana dengan ekspektasi kelompok? Situasi yang berkembang saat itu, fasisme Mussollini (ingat Orde Baru?) membutuhkan eksistensi menyeluruh. Fasisme tidak pandang bulu terhadap para penentang. Menghabisi Luca Quadri menjadi salah satu cara mempertahankan eksistensi tersebut. Marcello sang konformis jadi belati utama, sebagai pengemban ‘tugas mulia’ tersebut.

Dan saya teringat pada teori evolusi Charles Darwin, yang mengetengahkan konsep survival of the fittest. Marcello tidak perlu menjadi the fittest agar tetap survive. Di ujung film, kita disuguhkan runtuhnya fasisme Mussolini tahun 1943. Melalui penyangkalan diri -bahkan sampai meneriakkan Italo sebagai fasis di jalan umum penuh massa yang bersorak-sorai atas jatuhnya fasisme– Marcello tetap konformis. Marcello, tanpa gentar, menyatakan diri sebagai warga negara biasa, hidup secara konvensional, punya istri dan anak laki-laki kecil yang menggemaskan. Di tengah perubahan situasi itu, Marcello tidak menunjukkan pribadinya sebagai fasis.



No comments:

Post a Comment