October 9, 2015

DIARI FILM #3: Lari, Sembunyi, dan Membisu





Persona 
Tahun produksi: 1966
Sutradara: Ingmar Bergman
Produser: Ingmar Bergman
Skenario: Ingmar Bergman
Sinematografi: Sven Nykvist
Pemain: Bibi Andersson, Liv Ullmann
Durasi: 84 menit
Bahasa: Swedia


Persona dibuka dengan potongan-potongan gambar berikut: alat kelamin pria yang sedang ereksi, cuplikan film slapstik, laba-laba, penyembelihan domba, sampai tangan manusia yang dipaku di kayu salib. Sampai di sini, bisa ditebak kalau Ingmar Bergman menggiring kita menuju fantasi yang jauh melampaui alam pikiran.

Kita lalu disuguhkan seorang anak laki-laki kurus, terbangun dari tidur, atau, mungkin dari ketidaksadaran. Dia lalu memakai kacamata bulatnya, membaca buku berjudul Var Tijds Hjalte. Sejenak kemudian, perhatiannya bergeser pada potret besar seorang wanita. Gambar itu diraba-raba olehnya. Sebentar. Itu bukan gambar seorang wanita saja, melainkan dua orang wanita. Satu wajah sebentar-sebentar berganti dengan wajah lain. Apakah perabaan itu wujud kerinduan anak kepada sosok ibu? 

Persona berpusat pada dua wanita, Elisabeth Vogler (Liv Ullmann) dan Suster Alma (Bibi Andersson). Seorang dokter (Margaretha Krook) menugaskan Alma merawat Elisabeth, aktris terkenal. Elisabeth terkulai lemah di sebuah kamar rumah sakit tanpa ada penyebab yang jelas. Padahal, sudah diperiksa bahwa jasmani dan rohaninya sehat. Namun, yang mengherankan sang dokter, perempuan itu tidak berbicara satu katapun. Elisabeth tidak bereaksi atas apa pun. Dan Alma didaulat untuk menolong Elisabeth, setidaknya, kembali berbicara. 

Alma mencoba menelusuri jiwa Elisabeth dengan segenap cara. Mulai dari mengantarkan makan malam hingga memperdengarkan siaran radio pengantar tidur buat si pasien. Rupanya dengan begitu Elisabeth bereaksi. Elisabeth bahkan menertawakan sebuah siaran radio yang diputarkan Alma. Isinya, drama radio. Elisabeth tergelakak kala mendengar ujaran perempuan pelakon, "What do you know about compassion?" 

Kita tak bisa langsung paham, apakah Elisabeth menertawakan compassion dalam arti "rasa iba" atau "kasih sayang". Namun, gelak itu bisa saja menjelaskan kalau dia tak lagi hirau akan kedua hal tersebut. Apatisme? Betulkah Elisabeth demikian tak acuh pada dunia sekitarnya?

Nyatanya, compassion itu masih dipunyai Elisabeth. Kita kemudian diperlihatkan Elisabeth yang bergidik ngeri, kecut hati, kala menonton siaran televisi tentang perkembangan Perang Vietnam. Berdiri di pojok kamar, sembari menggigil takut, Elisabeth tak kuasa menyaksikan gambar seorang biksu dilalap gelontoran api. Sikap itu seperti mengarsir pribadi Elisabeth: dia belum kehilangan rasa iba. Atau, jika diperhatikan lebih seksama, Elisabeth gentar pada penderitaan dan rasa sakit, seperti yang dirasakan sang biksu terbakar itu.  

Dan dokter yang menangani Elisabeth bukan orang sembarangan. Dokter menganggap "puasa" bicara Elisabeth cuma kedok belaka. "Tempat persembunyianmu bukannya tidak bisa ditembus. Kenyataan hidup menelusup dari mana saja. Dan kamu mesti bereaksi atas itu," kata sang penyembuh. Dengan hipotesis semacam itu, Elisabeth diberikan rumah tetirah sang dokter di pantai sebagai liang sembunyi baru. Namun dia tidak dilepas sendirian. Alma mendapat tugas baru: menemani sang pelakon hingga dia melepaskan topeng pembisuan dari wajahnya.  

Dan hubungan Alma dengan pasiennya semakin erat. Setidaknya, dalam anggapan sang perawat muda. Interaksi Alma dengan Elisabeth nyatanya bak seseorang sedang berbicara di muka cermin. Dalam kondisi begitu, Alma tak ambil pusing. "Banyak yang bilang, aku seorang pendengar yang baik. Namun sedikit yang mau jadi pendengarku. Kukira kamulah orang pertama yang mau jadi pendengarku," aku Alma kepada Elisabeth. 

Memang, berbicara dengan patung atau permukaan cermin terasa lebih nyaman ketimbang tak ada seorangpun sebagai pendengar. Kehadiran Elisabeth sangat berarti bagi Alma. Bahkan, Alma mengisahkan Elisabeth tentang pengalaman seksualnya bersama dua remaja. Hubungannya dengan Karl-Hendrik, tunangannya, pun dia beberkan kepada Elisabeth. "Aku dan dia tidak cocok," katanya sambil bercucur air mata.   

Dan cermin itu ternyata bukan cermin biasa. Alma kecewa tatkala mengetahui dirinya dijadikan objek pengamatan oleh Elisabeth. Itu dia baca dalam surat Elisabeth yang hendak disampaikannya kepada sang dokter. Surat itu tiada bersegel. "Mempelajari dia, sangat menyenangkan," demikian tertulis di surat itu. 

Sakit hati, Alma berontak dari tugasnya sebagai perawat. Sungguh jelas, hubungan mereka berdua bukan lagi antara pasien dengan perawat. Dan dengan agresif Alma mendesak Elisabeth membuka mulut. "Bicaralah apa saja. Tentang apa yang hendak kita makan malam ini, atau tentang cuaca hari ini cocok untuk berenang," desak Alma. Puncaknya, Alma hendak menyorongkan panci berisi air mendidih kepada Elisabeth. Dan tembok itu runtuh seketika. Topeng itu remuk perlahan. "Tidak, diam!!," kata Elisabeth, menghindar dari Alma yang tengah dirundung kemarahan. "Kau ketakutan, bukan? Sejenak, kau benar-benar merasa takut, bukan? Ketakutan luar biasa akan kematian?"

Persona, dalam arti sebenarnya, merujuk pada karakter yang dimainkan seorang aktor. Akar kata itu dari Bahasa Latin, berarti "topeng". Karakter yang dipilih Elisabeth adalah pembisu ulung. Atau, bisa juga dilihat sebagai cermin yang diam namun menertawakan cerita-cerita orang di hadapannya, yakni Alma. Sebagus apapun peran itu, senyata apapun topeng yang dikenakan, terbukti ada cacatnya. Dalam kasus Elisabeth, cacat itu sungguh alamiah: takut kematian. Dan, bagaimanapun, itu bukanlah cenangga. Tatkala menyaksikan ekspresi Elisabeth melihat biksu terbakar di televisi, sesungguhnya hal itu telah bisa kita ketahui.

Klimaks Persona nampaknya berelasi dengan adegan bocah meraba gambar besar perempuan di awal. Lewat sebuah monolog, Alma membeberkan kepada kita, sesuatu yang mungkin jadi alasan Elisabeth memilih persona-nya. Sang artis memilih menghindari kenyataan bahwa dia kini seorang ibu. Elisabeth kelihatannya menyesal telah melahirkan insan ke dalam dunia. Dia tak lagi leluasa menjalankan pekerjaan sebagai aktris. "Kewajiban itu (menjadi ibu) membuatmu bergidik, jadi terikat, dan meninggalkan teater. Rasa sakit menakutimu, kematian, bahwa kau akan hamil. Namun, kau menghindari peran itu. Peran sebagai calon ibu yang bahagia," ujar Alma. 




October 8, 2015

DIARI FILM #2: Kegilaan Jurnalis Kuyu di Negeri Antah-Berantah


Tahun produksi: 1986
Sutradara: Oliver Stone 
Produser: Oliver Stone dan John Green
Pemain: James Woods, James Belushi, John Savage, Cynthia Gibb

Ini adalah kisah separuh benar separuh bikinan. Di awal film ditegaskan kalau karakter-karakternya fiktif, tapi berlatar peristiwa nyata. Salvador dikemas bak buku sejarah yang secara akurasi mengundang pertanyaan dan perdebatan. Namun, Salvador gamblang menyuguhkan kita situasi perang saudara di El Salvador, Amerika Tengah, pada 1980 hingga 1981.

Sahibulhikayat, Richard Boyle (James Woods), seorang jurnalis foto, ditinggal pergi istri dan anaknya lantaran tidak kuasa menerima sang kepala keluarga yang hobi mabuk dan nirpenghasilan. Richard, bersama sobatnya yang eksentrik, Dr. Rock alias Doc, memutuskan berkelana ke El Salvador untuk mencari peluang kerja. Richard tak asing dengan negeri itu karena pernah melanglang ke sana untuk meliput. 

Nyatanya, bukan kehidupan mengasyikkan yang mereka temui di sana. Richard dan Doc disuguhkan pemandangan jalanan penuh darah, mayat-mayat sisa penembakan malam sebelumnya, dan kemelaratan. Richard tersadar, El Salvador bukan lagi negeri yang sama dengan yang diingatnya. 

Tapi Doc terus merongrong Richard tentang kehidupan nikmat di El Salvador yang dia janjikan. Richard akhirnya menemui John Cassady (John Savage), bermaksud mencari penghidupan. John adalah kenalan lama Richard, yang juga wartawan. Bersama John, Richard memasuki pusaran kenyataan di El Salvador: negeri penuh rentetan tembakan dan kekerasan masif. 

Di tengah himpitan mara, Richard bersua dengan Maria, "cinta satu malam"-nya dalam kunjungan pertama ke El Salvador. Belakangan keduanya saling jatuh cinta. Selanjutnya, cerita yang berkembang di Salvador terpusat pada dua hal. Kita menyaksikan bagaimana Richard terhembalang ke dalam intrik kekuasaan di El Salvador. Dibeberkan pula romansa Richard dan Maria, wanita beranak dua dengan keponakan pengisap mariyuana garis keras. 

Film ini dinominasikan dalam kategori Pemeran Utama Pria Terbaik (James Woods) dan Skenario Asli Terbaik pada Academy Award 1987. Yang membuatnya makin menarik,  ada sentilan tentang kebijakan luar negeri Amerika Serikat disuguhkan di sana. Hal itu terlihat dalam sebuah dialog antara Richard dan Kolonel Hyde, komandan militer AS di El Salvador. Percakapan itu bak mengarsir ketidaksukaan Oliver Stone terhadap haluan diplomasi AS yang begitu gencar memerangi komunisme dengan cara apapun. 

Boyle: I am not a fucking spy for you, guys. Left wing, colonel? Well, maybe. But I am not a communist, and you guys are never seen to be able to tell the difference.
Hyde: Is that a fact?
Boyle: Yeah. You know? I love my country as much as you do. That may surprise you. You like them (pemerintah El Salvador) because they are anti-Moscow!
Hyde: Oooh! That's bullshit!





October 7, 2015

DIARI FILM #1: Konformis Itu Memabukkan...



Il Conformista (The Conformist)
Tahun produksi: 1970
Sutradara: Bernardo Bertolucci
Produser: Giovanni Bertolucci, Maurizio Lodi-Fe

Konformitas berhubungan erat dengan tendensi manusia untuk tetap bertahan dalam lingkungan sosialnya. Kasarnya, konformitas dipilih manusia guna mencapai sebuah eksistensi ataupun mendapatkan apresiasi dari lingkungannya, meski tak selalu sesuai dengan idealisme diri.  

Beberapa pemikir ulung seperti Stanley Migram, John M Sheperd, sampai Soerjono Soekanto turut mendefinisikan konformitas menurut pemikirannya masing-masing. Dari ketiganya, saya menyimpulkan, terdapat benang merah yang terdiri atas tiga unsur: ‘penyesuaian diri’, ‘ekspektasi kelompok’, dan ‘nilai atau norma secara umum’.

Marcello “Dottore” Clerici (Jean-Louis Trintignant), merupakan simbol konformitas sendiri. Sedikit banyak, sikap itu dipengaruhi oleh ideologi negaranya, Italia, yaitu fasisme. Meskipun dipertanyakan oleh sahabatnya, Italo (Jose Quaglio), Marcello tetap teguh pada keinginannya menjadi agen rahasia fasisme dibawah komando Benito Mussolini. 

Begitu diterima menjadi bagian dari rezim Il Duce, Marcello diminta untuk menghabisi nyawa Luca Quadri (Enzo Tarascio), seorang anti-fasisme. Luca tinggal di Perancis, kabur dari tanah airnya. Kenyataannya, Luca tak lain adalah dosen Marcello ketika mahasiswa. Ironis? Memang demikian, jika didasarkan pada etika maupun moralitas umum manusia. Tetapi, bukan sesuatu yang absurd jika abstraksi sosial seperti fasisme menjadi etiknya. Fasisme kemudian menggeser keluhuran moralitas, dimana ‘baik’ dan ‘buruk’ dapat disimpulkan secara statis. Sebuah pergeseran nilai yang tetap ‘terjaga’ hingga dewasa ini.

Tindak-tanduk Marcello mewakili tiga unsur konformitas yang sudah disebutkan sebelumnya. Menjadi agen rahasia fasisme adalah bentuk penyesuaian diri Marcello terhadap fasisme, nilai atau norma umum pada saat itu. Meskipun tidak digambarkan, sebelumnya Marcello adalah seorang idealis atau anti-fasisme, pilihan Marcello tidak bersambut pujian dari sekitarnya. Ambil contoh, sikap mempertanyakan dari Italo. Kegusaran Italo menunjukkan, bentuk penyesuaian diri Marcello bukan sesuatu yang ‘wajar’. Setidaknya menurut pemikiran sang sahabat. 

Bagaimana dengan ekspektasi kelompok? Situasi yang berkembang saat itu, fasisme Mussollini (ingat Orde Baru?) membutuhkan eksistensi menyeluruh. Fasisme tidak pandang bulu terhadap para penentang. Menghabisi Luca Quadri menjadi salah satu cara mempertahankan eksistensi tersebut. Marcello sang konformis jadi belati utama, sebagai pengemban ‘tugas mulia’ tersebut.

Dan saya teringat pada teori evolusi Charles Darwin, yang mengetengahkan konsep survival of the fittest. Marcello tidak perlu menjadi the fittest agar tetap survive. Di ujung film, kita disuguhkan runtuhnya fasisme Mussolini tahun 1943. Melalui penyangkalan diri -bahkan sampai meneriakkan Italo sebagai fasis di jalan umum penuh massa yang bersorak-sorai atas jatuhnya fasisme– Marcello tetap konformis. Marcello, tanpa gentar, menyatakan diri sebagai warga negara biasa, hidup secara konvensional, punya istri dan anak laki-laki kecil yang menggemaskan. Di tengah perubahan situasi itu, Marcello tidak menunjukkan pribadinya sebagai fasis.



October 6, 2015

Sarjana

Istilah post-graduated syndrome tidak akan pernah kita temukan di literatur ilmu kejiwaan manapun. Post-graduated syndrome cuma istilah bikin-bikinan; serupa dengan post-power syndrome (keadaan dimana orang yang baru turun dari kekuasaan tetapi masih menyimpan nafsu berkuasa), misalnya.


Tatkala orang berkata kepada anda, “Ah, lo kena post-graduated syndrome, tuh!”, bisa jadi lantaran anda dilihat masih terbuai dengan senggangnya masa kuliah, dimana hidup hanya punya sedikit beban. Maksudnya, beban-beban itu cuma sekitar masuk kuliah pukul 7 pagi, tanggung jawab di organisasi, atau sulitnya menemui dosen pembimbing skripsi.

Lain dari itu adalah kenikmatan. Ambil contoh, dua bulan periode Kuliah Kerja Nyata alias liburan berkedok pengabdian masyarakat. Mahasiswa Universitas Gadjah Mada tahu betul soal ini. Banyak anak kampus lain dengki melihat unggahan mahasiswa UGM bertagar #kkn di Instagram atau Facebook. Soalnya, kebanyakan yang diunggah adalah 1) foto pemandangan (pantai, gunung, hutan mangrove, dkk.), 2) foto diri berlatar pemandangan (leyeh-leyeh di hammock di pinggir pantai sambil berbikini, misalnya), atau 3) foto close-up warga setempat (menunjukkan sisi humanisme –fak!!—dan  mengundang ratusan “like”).    

Hari ini, sudah 45 hari, 7 jam, 38 detik saya jadi Sarjana Hukum dari UGM. Dalam waktu yang sama, seekor ayam betina sudah dua kali menetaskan telur, Liverpool telah memecat Brendan Rodgers, dan bendera Palestina untuk pertama kali dikibarkan di muka gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York. Selama waktu itu juga, saya sering bertanya kepada diri sendiri, apakah saya telah mengalami post-graduated syndrome? Apakah saya telah merasakan gejalanya? Atau, apakah sama sekali saya tidak terjangkit?

Kegiatan yang paling mungkin dilakukan dalam periode post-graduated adalah liburan. Nafsu berlibur, jelas ada. Saat sebelum saya diwisuda tanggal 21 Agustus silam, saya telah berencana bertamasya ke Kepulauan Banda Neira, Maluku. Waktu itu, di sana kebetulan ada seorang kawan dekat yang sedang KKN. Saya sudah menggali informasi ihwal transportasi, objek wisata, dan kuliner khasnya. Ke sana naik KM Tidar, kelas ekonomi, tanggal 24 Agustus, lima hari perjalanan. Bukan masalah besar lantaran tahun lalu saya menggunakan angkutan sejenis ke Kepulauan Natuna untuk KKN. Lalu saya akan menghabiskan lima hari di sana. Menginapnya di pondokan yang ditumpangi kawan saya itu. Serta rencana-rencana lain yang sudah saya guratkan di notes pada Xperia C4 saya.

But, excitement has to be muted. Saya tidak jadi berangkat ke Banda Neira lantaran datang sebuah surat elektronik dari satu perusahaan media massa yang saya lamar. Isinya, panggilan tes wawancara untuk posisi reporter pada 5 September 2015. Nama perusahaan itu sudah tertera di dinding kamar kos saya sejak tahun lalu. Motivasi saya mengerjakan skripsi, agar bisa secepat mungkin jadi bagian perusahaan itu. Jelas, arti berlibur ke timur Indonesia tak sebanding dengan kesempatan menjadi wartawan koran nasional, yang tidak datang setiap hari.

Cangkeman. Payah kowe, katanya mau ke Banda Neira,” kata kawan saya yang lagi leyeh-leyeh di Banda Neira. Waktu itu, saya belum memberi kabar kepadanya perihal panggilan wawancara kerja yang membatalkan semua rencana pelesir. “Yah, gimana, ini ada urusan masa depan :( Lain kali lah ya gw sama lo ke sana,” balas saya. Klasik.

Sejak itu, saya cuma memikirkan “urusan masa depan”. Saya tidak memasang target, misalnya, bulan sekian saya harus dapat kerja. Namun, angan masih sama: menjadi wartawan. Entah pada media massa mana saya bekerja, atau, di kota mana saya ditempatkan.

Dengan alam pikiran semacam itu, apakah saya bisa dibilang tidak terserang post-graduated syndrome? Saya memupuk optimisme sejak datangnya panggilan wawancara itu. Optimistis bahwa dalam waktu dekat saya resmi menyandang pekerjaan sebagai reporter. Keyakinan itu semakin menggelembung tatkala saya lolos pada tahap wawancara. Begitu pun dengan babak-babak berikutnya, mulai dari tes linguistik (Bahasa Indonesia dan Inggris), tes pengetahuan umum, hingga terakhir, psikotes.

Sampai saya menulis ini, hasil psikotes, yang diadakan pada 7 September silam, belum juga diumumkan. Setelah itu, hanya ada tahap tes kesehatan sebelum resmi jadi wartawan.

Tiga pekan pertama setelahnya, saya masih santai. Toh, kata staf HRD yang saya tanya, hasil psikotes akan diumumkan awal Oktober lantaran menunggu hasil seleksi di kota-kota lain. Selain di Yogyakarta, pencarian reporter baru oleh perusahaan dilakukan di Surabaya, Semarang, Bandung, dan Jakarta. Saya mengikuti proses seleksi di Yogyakarta, kota pertama yang didatangi.

Waktu senggang, saatnya menekuni hobi-hobi yang lama terlantar; membaca, menonton film, dan.... berpelesir. Saya telah menetapkan beberapa buku untuk dibaca, yaitu:
1) Crime And Punishment (Fyodor Dostoyevsky);
2) Gulliver's Travel (Jonathan Swift);
3) Jejak Langkah (Pramoedya Ananta Toer);
4) Football Against Enemy (Simon Kuper);
Selain itu ada koran (setiap pagi), majalah TEMPO (saban awal pekan), dan artikel-artikel Flipboard (kapan saja ketika ingin). 

Daftar film lebih membludak. Ada keinginan membabat habis semua film-film dari sineas idola, Woody Allen. Selain itu, muncul pula hasrat mengulik karya Steven Soderbergh, Luis Bunuel, Ingmar Bergman, dan Alexander Tarkovsky. 

Sejauh ini berpelesir baru sekali. Beberapa hari setelah wisuda saya bersepeda motor sendirian ke Pantai Pringjono, Gunungkidul. Namun karena pantai itu tidak bisa dijangkau dengan kendaraan apa pun (letaknya di balik bukit), saya bermalam di Pantai Nguyahan di sebelahnya. Mungkin, kisah di sana bakal saya tuliskan kali lain.   

Kembali ke post-graduated syndrome. Sekelebat, dengan barisan kegiatan seperti di atas, saya terlihat seperti seorang sarjana yang gembira. Status sebagai pengangguran bukan jadi aral menjalani hidup seperti orang sibuk. 

Namun, perlu dicatat: saya tidak "disibukkan" tetapi "menyibukkan". Lama-kelamaan, kata "menyibukkan" semakin terasa menyedihkan. Semangat untuk selalu "sibuk" setiap hari perlahan lumer. Mungkin saja lantaran hingga kini saya masih jadi bagian dari "ribuan sarjana hukum pencari kerja yang lulus setiap tahunnya di Indonesia". Angka yang belum rigid, jika menghitung lulusan-lulusan dari perguruan tinggi bermasalah di negara ini alias kampus bodong. Jumlah itu bakal lebih banyak lagi kalau diikutkan pula sarjana lulusan tahun sebelumnya yang (mungkin) masih menganggur.    

Post-graduated syndrome mulai datang mengebiri harapan. 

Setiap pagi, bacaan saya bukan lagi koran.

Saban bangun tidur, yang saya pelototi sekarang adalah situs-situs lamaran pekerjaan.


YOGYAKARTA, 22.40 WIB

          



June 8, 2015

Merajut Harapan dari Giwangan*

n



Ingatan Rubiyah (50) berpulang pada peristiwa sedasawarsa silam. Saat itu, dia diminta menghadap ke sekolah anak sulungnya di Manding, Kabupaten Bantul. Rupanya karena sudah 4 bulan tak membayar uang sekolah. Bagi Rubiyah jumlahnya mencekik: Rp 148 ribu. Ia nelangsa. “Aku yo nangis, gimana ya ini caranya,” tutur dia di Pasar Giwangan, Yogyakarta, Kamis, 26 Maret 2015.

Keluarga Rubiyah hanya bersandar pada penghasilan kepala keluarga, tukang becak di kawasan wisata Malioboro, Yogyakarta. Pendapatan sang suami tak seberapa. Tanggungannya banyak. Si nomor satu, kelas 2 SMA, punya 3 adik yang masih kecil-kecil. Rubiyah, kala itu, hanya ibu rumah tangga biasa.

Panggilan dari SMA itu kemudian mengubah haluan hidupnya. Dia memutuskan ikut menafkahi keluarga. Hanya satu cara yang terpikir oleh Rubiyah: menjadi buruh gendong. “Dulu itu terpaksa. Kepepet,” ujar wanita asal Bantul itu.  

Rubiyah pertama-tama menggendong di lantai 3 kawasan Shopping Center (kerap disebut Shopping saja), selatan Pasar Beringharjo. Hasilnya lumayan. Buktinya, tunggakan uang sekolah anaknya beres, bahkan hingga lulus SMA. “Alhamdulillah, dapat rezeki,” katanya.

Tahun 2007, ia pindah ke Pasar Giwangan, pasar induk buah dan sayur di selatan Kota Yogyakarta. Pedagang disana pindahan dari Shopping, tempat awal Rubiyah bekerja. 

Dalam sehari, Rubiyah bisa mengantungi Rp 20 ribu hingga 25 ribu. Saat Pasar Giwangan ramai atau buruh gendong tak banyak yang bekerja, jumlah itu dapat mencapai Rp 50 ribu.     

Selain Rubiyah, ada 130-an wanita yang menjadi buruh gendong di Giwangan. Kebanyakan dari mereka usianya tidak muda lagi. Kawan Rubiyah, Bandiyah (54), sudah menggendong sejak 30 tahun yang lalu. Seperti Rubiyah, dia memulainya dari Beringharjo. “Saya mulai (sejak masih) gadis. Tahun 1975 udah di Beringharjo,” kata Bandiyah.

Bandiyah asli Desa Tuksono, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulonprogo. Di rumahnya hanya ia seorang diri. Suaminya sudah tiada. Bandiyah mempunyai 2 anak, semuanya menetap di perantauan. Mereka memburuh di sebuah pabrik kayu di Cicadas, Bogor. Tutur Bandiyah, si bungsu bakal kembali ke Tuksono, akhir bulan April. “Mau nemani ibunya,” ucap dia.

Bandiyah pulang menggunakan bus. Ia biasa mencegat angkutan itu dari tepi jalan lingkar luar Yogyakarta, tak jauh dari Pasar Giwangan. Wanita itu lalu turun di simpang tiga Ngelu, Kecamatan Sentolo. Dari sana dia melanjutkan perjalanan dengan ojek bertarif Rp 10 ribu hingga rumahnya. 

Karena Giwangan jauh dari desanya, Bandiyah tidak setiap hari pulang ke rumah. Dia menyiasati dengan tidur di los pedagang buah yang kosong ketika malam. Seringnya, 3 hari sekali dia baru kembali ke Tuksono. “Habis mau gimana,” ucapnya.

Dinginnya malam tak lagi merisaukan Bandiyah. Ada peribahasa: tak ada rotan, akar pun jadi. Dalam pengalaman Bandiyah: tak ada selimut, karung dan kardus pun jadi. “Saya masuk malah jadi hangat,” tutur dia.   

Saat hujan turun, air menyelonong dari titik-titik bocor atap areal pedagang buah yang ditidurinya. Kalau ada angin, air bahkan bertempias dari sekeliling tempat itu. Solusinya, ujar Bandiyah, mudah saja. “Cari tempat yang nggak bocor dan nggak kena angin.”


Lemah di Muka Hukum       

Dosen Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Yogyakarta Nur Hidayah, tahun 2009, meneliti kehidupan buruh gendong Pasar Giwangan dalam Eksistensi Buruh Gendong sebagai Pilihan Pekerjaan di Sektor Informal. Dia menuliskan, wanita-wanita yang kini menjadi buruh gendong sebagian besar dari pedesaan. Mereka mengadu nasib ke kota karena banyak hal. Beberapa di antaranya, kesulitan ekonomi dan keinginan mandiri dari penghasilan suami. 

Pengajar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada Murti Pramuwardhani mengungkapkan, di negeri ini pekerja sektor informal jumlahnya lebih banyak dari yang formal. Menurutnya, hal itu terjadi karena pemerintah belum mampu menyediakan lapangan kerja bagi semua warga negara. “Mau tidak mau, mestinya pemerintah memikirkan yang sektor informal,” kata dia ditemui, Selasa 31 Maret 2015.

Murti mengatakan, posisi pekerja macam buruh gendong lemah secara hukum. Mereka tidak dilindungi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Kebijakan itu hanya mencakup tenaga kerja bidang formal.  

Dia menambahkan, batasan formal dan informal memang masih kabur. Tapi, rujukan pembeda dapat dicermati di UU. “(Pekerja bidang formal) Jam kerjanya pasti, terstruktur, hubungan kerjanya jelas, ada perjanjian kerjanya,” ujarnya. Tak satupun cocok dengan ciri-ciri pekerjaan di bidang informal.

Buruh gendong tidak mengenal jam kerja. Hubungan kerja dengan pengusaha juga nihil. Itu membuat perjanjian kerja sampai kapan pun tak akan pernah mereka miliki. “Mereka itu kan pekerja mandiri yang mendapat upah setelah dia memberikan jasa,” ucap Murti.


Berjuang lewat Paguyuban

Di beberapa pasar di Yogyakarta, buruh gendong membentuk paguyubannya sendiri. Paguyuban tertua di Beringharjo, berdiri tahun 1992. Di Giwangan baru terbentuk tahun 2007. Dua tahun yang lalu, paguyuban se-Yogyakarta berdiri dengan nama Sayuk Rukun, saat ini diketuai Rubiyah. “Yang ikut baru Giwangan, Beringharjo, Kranggan (Kota Yogyakarta), sama Gamping (Kabupaten Sleman),” kata Rubiyah.

Tahun 2008, Rubiyah masuk ke paguyuban Giwangan. Mulanya dia tidak tertarik karena asing akan isu hak asasi manusia yang diangkat paguyuban. “Wuh, rasane (rasanya) merinding. Padahal dulu itu nggak tau HAM itu apa,” tuturnya. Belakangan, ia memutuskan bergabung saat mendengar arahan-arahan Yayasan Annisa Swasti (Yasanti), lembaga swadaya masyarakat yang peduli persoalan buruh gendong, dalam sebuah pertemuan paguyuban.

Buruh gendong bekerja bukannya tanpa risakan. Namun mereka tidak diam saja. Wanita-wanita perkasa itu berjuang dengan caranya sendiri. Melalui paguyuban buruh gendong, mereka tak gentar melawan aral-aral seperti diskriminasi, jaminan perlindungan kerja yang minim, ketidaklayakan upah, sampai pelecehan badan.

Diskriminasi memang sering dialami buruh gendong. Menurut Rubiyah, hingga kini dia dan teman-temannya belum diakui sebagai warga pasar. Di Giwangan, mereka tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan mengenai fasilitas pelayanan pasar. “Pedagang aja yang diprioritaskan. Padahal kita (buruh gendong) yang banyak kerja,” katanya.

Jaminan perlindungan kerja amat dibutuhkan buruh gendong, utamanya yang berasal dari luar Yogyakarta. Jika mengalami kecelakaan, buruh gendong asal Yogyakarta bisa berobat ke Puskesmas terdekat menggunakan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Tidak demikian kawannya dari daerah lain. “Yang perantauan, seandainya kecelakaan, periksa sendiri, obat sendiri. Nggak bisa gratis,” tutur dia.

Perantau datang dari Sukoharjo, Boyolali, Klaten, Wonogiri, Purworejo, Kulonprogo, dan Gunungkidul. Rubiyah tidak memasukkan Bantul karena jaraknya dekat dengan tempat kerja. “Yang Bantul itu pulang-pergi. Kalau yang lain-lain itu tidak,” katanya. Salah satunya Rubiyah. Dia berangkat dari rumahnya di Kecamatan Pandak, Bantul, menggunakan bus kota atau suaminya yang mengantarkan. “Tapi lebih sering naik bus,” tutur Rubiyah.

Pekerja yang celaka jumlahnya memang tak banyak. Namun, kata Rubiyah, pernah ada temannya yang tergelincir karena lantai pasar licin. Kakinya lalu retak, tertimpa beban berat yang jatuh dari gendongannya. “Biaya sendiri sampai sekarang. Belum sembuh malah, jadi nggak bisa jalan,” ujarnya.

Menurut Murti, kesehatan buruh gendong wajib dilindungi. Selama ini aturan untuk itu belum ada. Padahal, seperti penuturan Rubiyah, buruh gendong rentan mengalami kecelakaan kerja. “Bagaimana pun, itu pekerjaan fisik. Gendong beban yang sangat berat itu resikonya tinggi sekali,” ujar Murti.

Perlindungan kerja itu menyangkut pula kesehatan reproduksi buruh gendong. Perempuan, ujar Murti, sudah kodratnya mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, ataupun menyusui. Terkait itu, baru tenaga kerja sektor formal yang mendapat perlindungan, terutama dari UU Ketenagakerjaan. Sebagai contoh, Pasal 76 ayat (2) mengatur larangan pengusaha mempekerjakan di atas pukul 11 malam pekerja perempuan yang sedang hamil. “Kalau pengusaha melanggar hal itu, kemudian ada yang menegur,” kata dia.

Sistem pengupahan buruh gendong amat memprihatinkan. Sebelum ada paguyuban, seberat apapun beban di pundak, buruh gendong paling banyak mengantungi Rp 2 ribu sekali jalan. Untuk mengatasi sedikitnya upah, biasanya Rubiyah meminjam uang ke sana-sini. Hal demikian juga dilakukan buruh gendong lainnya. Prinsip mereka: cukup nggak cukup ya harus cukup, seperti dituturkan Rubiyah.

Menurut Murti, buruh gendong berhak dibayar lebih dari yang sekarang mereka dapatkan. “Itu upah nggak lazim. Bayangkan, dengan kerja membawa beban berat seperti itu,” kata dia.

Himpitan masalah, sejak ada paguyuban, perlahan berkurang. Diskriminasi dan pelecehan sudah tak sering lagi dialami buruh gendong. Yasanti mendorong mereka melalui sekolah kepemimpinan perempuan. Lewat itu, buruh gendong memahami persoalan gender, diskriminasi, HAM, sampai hak pekerja perempuan. “Kita jadi tahu. Nggak takut lagi sama laki-laki yang mau macem-macem. Kita yo bisa ngomong,” ujar Rubiyah.    

Upah buruh gendong juga meningkat. Saat ini, mereka mendapatkan Rp 3 ribu untuk setiap bawaan di atas 50 kilogram. “Itu (upah) sulit naikkannya. Baru naik berapa bulan ini setelah kami (paguyuban Giwangan) perjuangkan,” tutur Rubiyah. 

Murti menilai, kesulitan muncul karena posisi tawar buruh gendong yang lemah. Saat buruh gendong menaikkan standar upah, dikhawatirkan pembeli tidak lagi menggunakan jasa mereka. “Pengguna bakal memilih yang laki-laki. Dia pasti berpikir, lebih kuat yang laki-laki. Kemudian buruh gendong nggak kepakai lagi,” ujarnya.

Paguyuban Giwangan mengatasi persoalan upah dengan mendirikan koperasi simpan pinjam. Anggota membayar iuran sukarela dan wajib sebesar Rp 2 ribu perbulan demi kelangsungan koperasi. “Pengelolanya kita sendiri, yang pinjam kita-kita juga,” kata Rubiyah.

Tapi masih ada yang belum tercapai: jaminan perlindungan kerja. “Pengennya kami seandainya kecelakaan di pasar, bisa periksa kemana saja, nggak bayar,” ucap Rubiyah. Itulah mengapa Sayuk Rukun mendesak pemerintah mengakui keberadaan buruh gendong. Demi mendapat pengakuan itu, mereka mendatangi Dinas Pengelolaan Pasar (Dinlopas) Kota Yogyakarta dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Yogyakarta.

Hasil persamuhan, pengakuan memang lahir, tapi hanya lewat ucapan. Rubiyah dan kawan-kawan menginginkan pernyataan tertulis dari pihak-pihak yang mereka temui. Bahkan Sayuk Rukun telah 2 kali mendesak DPRD lewat usaha audiensi.     

Rubiyah mengakui, DPRD bukannya diam saja kala disambangi Sayuk Rukun. Kali pertama mereka menggeruduk parlemen, awal Desember tahun lalu, Ketua DPRD Yoeke Indra Agung mensinyalir bakal mendukung buruh gendong. “Kami mendukung apa yang buruh gendong inginkan,” ujar Rubiyah, menirukan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Sayuk Rukun melancarkan aksi kedua hari Selasa, 24 Maret 2015. Hari itu turut pula ratusan pekerja rumah tangga di DIY yang menuntut pengesahan Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga.  Rubiyah mengungkapkan, aksi tersebut dilakukan karena DPRD tak kunjung menepati “janjinya” lewat ucapan Yoeke.

Ada 4 tuntutan buruh gendong saat itu. Pertama, pemerintah mengakui mereka sebagai pekerja dan segera memberi jaminan perlindungan kerja serta upah layak. Kedua, pemerintah mengakui buruh gendong sebagai warga pasar dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan pelayanan publik di pasar. Ketiga, buruh gendong disediakan fasilitas kesehatan. Terakhir, meminta pemerintah menyediakan ruang pertemuan dan ruang istirahat.

Ketika matahari tepat di atas kepala, baru mereka dihampiri anggota dewan. Padahal massa buruh gendong mengerubung di pelataran depan DPRD sejak pukul 9 pagi. Kala itu legislator asal PDIP Eko Suwanto yang meladeni mereka. Tutur Rubiyah, ternyata tanggapannya setali tiga uang dengan ucapan Yoeke. “Belum ada hasil berarti,” katanya.

Yoeke menolak jika DPRD disebut tidak bertindak sama sekali. Setelah aksi pertama Sayuk Rukun, dia langsung meminta Komisi D DPRD berkoordinasi dengan Dinlopas. “Masalahnya, itu (penentuan kebijakan pengelolaan pasar) bukan (kewenangan) kita (DPRD),” tutur dia di DPRD, Selasa, 31 Maret 2015.

Lurah sekaligus Koordinator Pasar Giwangan dari Dinlopas Antoni Prasetyo mengatakan, Dinlopas sebenarnya mengakui buruh gendong sebagai warga pasar. Hal itu dibuktikan dengan pembentukan Seksi Pemberdayaan Pedagang dan Komunitas Pasar di bawah Dinlopas. Unsur komunitas itu salah satunya paguyuban buruh gendong. “Secara umum disini (Giwangan) sudah (diakui),” katanya di kantornya, Selasa, 14 April 2015.    

Gubernur DIY Sultan Hamengkubuwono X, ketika ditanyai pendapatnya akan tuntutan buruh gendong, tidak banyak berkomentar. Raja Keraton Yogyakarta itu hanya menyatakan, urusan buruh gendong merupakan wewenang Pemerintah Kabupaten atau Kota. “Itu kan warga masyarakatnya (Kabupaten/Kota). Berarti (Pemkab/pemkot yang) punya kewajiban,” tutur Sultan ditemui, Selasa, 31 Maret 2015.


Demi Anak Cucu

Rubiyah menunjukkan sebuah gambar di ponselnya. Ada dia dan sosok Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, disana. “Itu ketemu waktu di Gedung Agung,” tuturnya. Perasan bangga terkuak dari wajahnya. Ia puas sekaligus bahagia.

Rubiyah diundang ke Gedung Agung (Istana Kepresidenan RI di Yogyakarta) menghadiri peringatan Hari HAM sedunia, 9 Desember tahun kemarin. Dia datang mewakili Sayuk Rukun. Wanita itu tidak kecil hati meskipun di sekitarnya banyak tokoh beken macam Sultan Hamengkubuwono X, para menteri, dan tentu saja Jokowi. “Aku yo cuek aja,” ucapnya.

Hanya satu impiannya: bertatap muka dengan Jokowi. Ia menanti hingga acara berakhir. Penungguannya tidak sia-sia. Tak sekadar adu pandang, Rubiyah buruh gendong bahkan terlibat pembicaraan dengan Jokowi presiden. Dia masih ingat percakapan ketika itu.

“Ini loh Pak, ada kelompok buruh gendong. Saya ketua buruh gendong DIY, Pak. Ini anak-anakmu minta dukungan Bapak.”

Pria asli Surakarta itu sontak kaget. “Lho, masak Ibu buruh gendong?” balas Jokowi, diikuti tawa riuh orang-orang di sekitar mereka, dan tentunya diakhiri sesi foto Rubiyah dan sang presiden.

Rubiyah juga pernah bersua Mufidah Kalla, istri Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla. Tempatnya sama, di Gedung Agung. Waktunya Selasa, 24 Maret 2015, selepas aksi di DPRD, 4 bulan berselang sejak dia bertemu Jokowi,. Kala itu Nyonya Kalla khusus mengundang buruh gendong ke Gedung Agung untuk memberikan jarik (kain tradisional Jawa). “Semacam tali kasih lah,” ujar Rubiyah.

Rubiyah sebetulnya menantikan dialog dengan Mufidah. Namun hingga penyerahan jarik usai, yang diangankan dia tak kunjung terjadi. Kesabarannya luluh saat pembawa acara menyatakan Mufidah akan meninggalkan ruangan. Ia langsung melompat dari kursinya, sigap mencegat Nyonya Kalla, lalu mengajak bicara.

“Bu, buruh gendong ini ada keluhan-keluhan.”
“Apa keluhannya?”
“Tolong ya Bu, perjuangan kami didukung ya Bu.”
“Oh iya, iya.”

Setelah itu Rubiyah hanya berharap permintaannya diteruskan ke Jakarta. “Mudah-mudahan ya beneran. Mungkin Tuhan itu mengganti, yang DPRD nggak menanggapi, malah yang lebih tinggi (yang menanggapi),” kata dia.

Dua kisah itu dituturkan Rubiyah di ruang rehat buruh gendong Pasar Giwangan. Paguyuban menyebutnya shelter.  Di bilik seluas 3 meter x 3 meter itu, buruh gendong Pasar Giwangan biasa melepas penat. Letaknya di bagian belakang pasar, 500 meter dari gerbang timur. Mereka juga memakainya untuk bersalin pakaian sebelum bekerja dan rapat pengurus paguyuban.

Intinya, shelter merupakan pusat kegiatan paguyuban Giwangan. Mereka meminta Dinlopas menyediakannya sejak tahun 2007. Lima tahun setelah itu baru terwujud. Sebuah perusahaan kosmetik terkemuka lalu menalangi pembangunannya.

Belum lama menikmati ruang rehat, paguyuban langsung tertimpa masalah. Mereka disodori tagihan retribusi oleh Lurah sebelum Antoni.  

“Dia (mantan Lurah) inginnya semua bangunan disini (Pasar Giwangan) harus membayar retribusi. Kita bilang, ‘Ini  (shelter) kan untuk sosial. Kalau buat berdagang baru kita kontribusi’,” tutur Ummi Asih, pendamping paguyuban Giwangan dari Yasanti.

“(Kala itu) Kita bisanya cuma nangis,” ujar Rubiyah.

Awal tahun 2013, Rubiyah dan kawan-kawan mendatangi Walikota Yogyakarta Haryadi Suyuti. “Sambil nangis juga,” kata dia mengenang. “Akhirnya Bapak Walikota bilang, ‘Siapa saja kalau ada yang minta retribusi, ngomong aja ke saya’,” katanya mengulang perkataan Haryadi. Sejak itu, tak ada lagi kertas tagihan yang mampir di pintu shelter.

Antoni menekankan, shelter adalah fasilitas gratis dari Dinlopas. “Jangan jadi diartikan, itu (shelter) mereka (buruh gendong) bayar sewa setiap tahun, sekian (rupiah),” kata dia.

Shelter ibarat monumen penanda, buruh gendong tak pernah berhenti berjuang. Wanita-wanita perkasa itu menolak menyerah pada jerat kemiskinan dan keterbatasan. Rubiyah mengungkapkan, semuanya demi masa depan anak cucu mereka. “Biar (menjadi buruh gendong) dirasain orangtuanya aja. Mudah-mudahan anaknya nggak,” tutur Rubiyah.  

*(Finalis Lomba Penulisan Berita In-depth Reporting Tingkat Nasional yang diselenggarakan Universitas Negeri Yogyakarta, Mei 2015)

January 25, 2015

Lagi-lagi Puisi Kamar

Bukan yang paling gres memang. Ini saya comot dari library dalam aplikasi Microsoft OneNote pada Lumia saya. Tertanggal 16 Desember 2014 dan lumayan serasi dengan post sebelumnya (bagi saya).

Nafas

Nafas berarak

dalam ziarah
pada kaki-kaki yang
menginjak tanah

ia tak melingsir

pada jalan-jalan
yang jadi arah tiap-tiap
harapan

Nafas melayu

di setiap dinding mati
di kota yang hilang 
pada hari

ia telungkup

di langit yang tenggelam
pada mata yang
menutup

Begitu teriak orang-orang yang berpeluh ketika

Ia mengada,
Ia didera,
dan Ia terbilang,

di antara kuasa yang luluh pada waktu.