Ingatan Rubiyah (50) berpulang
pada peristiwa sedasawarsa silam. Saat itu, dia diminta menghadap ke sekolah
anak sulungnya di Manding, Kabupaten Bantul. Rupanya karena sudah 4 bulan tak
membayar uang sekolah. Bagi Rubiyah jumlahnya mencekik: Rp 148 ribu. Ia
nelangsa. “Aku yo nangis, gimana ya ini caranya,” tutur dia di Pasar
Giwangan, Yogyakarta, Kamis, 26 Maret 2015.
Keluarga Rubiyah hanya
bersandar pada penghasilan kepala keluarga, tukang becak di kawasan wisata Malioboro,
Yogyakarta. Pendapatan sang suami tak seberapa. Tanggungannya banyak. Si nomor
satu, kelas 2 SMA, punya 3 adik yang masih kecil-kecil. Rubiyah, kala itu,
hanya ibu rumah tangga biasa.
Panggilan dari SMA itu
kemudian mengubah haluan hidupnya. Dia memutuskan ikut menafkahi keluarga.
Hanya satu cara yang terpikir oleh Rubiyah: menjadi buruh gendong. “Dulu itu
terpaksa. Kepepet,” ujar wanita asal
Bantul itu.
Rubiyah pertama-tama menggendong
di lantai 3 kawasan Shopping Center
(kerap disebut Shopping saja),
selatan Pasar Beringharjo. Hasilnya lumayan. Buktinya, tunggakan uang sekolah
anaknya beres, bahkan hingga lulus SMA. “Alhamdulillah, dapat rezeki,” katanya.
Tahun 2007, ia pindah ke
Pasar Giwangan, pasar induk buah dan sayur di selatan Kota Yogyakarta. Pedagang
disana pindahan dari Shopping, tempat
awal Rubiyah bekerja.
Dalam sehari, Rubiyah bisa mengantungi
Rp 20 ribu hingga 25 ribu. Saat Pasar Giwangan ramai atau buruh gendong tak
banyak yang bekerja, jumlah itu dapat mencapai Rp 50 ribu.
Selain Rubiyah, ada 130-an
wanita yang menjadi buruh gendong di Giwangan. Kebanyakan dari mereka usianya
tidak muda lagi. Kawan Rubiyah, Bandiyah (54), sudah menggendong sejak 30 tahun
yang lalu. Seperti Rubiyah, dia memulainya dari Beringharjo. “Saya mulai (sejak
masih) gadis. Tahun 1975 udah di
Beringharjo,” kata Bandiyah.
Bandiyah
asli Desa Tuksono, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulonprogo. Di rumahnya hanya
ia seorang diri. Suaminya sudah tiada. Bandiyah mempunyai 2 anak, semuanya
menetap di perantauan. Mereka memburuh di sebuah pabrik kayu di Cicadas, Bogor.
Tutur Bandiyah, si bungsu bakal kembali ke Tuksono, akhir bulan April. “Mau nemani ibunya,” ucap dia.
Bandiyah
pulang menggunakan bus. Ia biasa mencegat angkutan itu dari tepi jalan lingkar
luar Yogyakarta, tak jauh dari Pasar Giwangan. Wanita itu lalu turun di simpang
tiga Ngelu, Kecamatan Sentolo. Dari sana dia melanjutkan perjalanan dengan ojek
bertarif Rp 10 ribu hingga rumahnya.
Karena
Giwangan jauh dari desanya, Bandiyah tidak setiap hari pulang ke rumah. Dia
menyiasati dengan tidur di los pedagang buah yang kosong ketika malam. Seringnya,
3 hari sekali dia baru kembali ke Tuksono. “Habis mau gimana,” ucapnya.
Dinginnya
malam tak lagi merisaukan Bandiyah. Ada peribahasa: tak ada rotan, akar pun
jadi. Dalam pengalaman Bandiyah: tak ada selimut, karung dan kardus pun jadi.
“Saya masuk malah jadi hangat,” tutur dia.
Saat hujan turun, air menyelonong
dari titik-titik bocor atap areal pedagang buah yang ditidurinya. Kalau ada
angin, air bahkan bertempias dari sekeliling tempat itu. Solusinya, ujar
Bandiyah, mudah saja. “Cari tempat yang nggak
bocor dan nggak kena angin.”
Lemah di Muka
Hukum
Dosen Pendidikan Sosiologi
Universitas Negeri Yogyakarta Nur Hidayah, tahun 2009, meneliti kehidupan buruh
gendong Pasar Giwangan dalam Eksistensi
Buruh Gendong sebagai Pilihan Pekerjaan di Sektor Informal. Dia menuliskan,
wanita-wanita yang kini menjadi buruh gendong sebagian besar dari pedesaan.
Mereka mengadu nasib ke kota karena banyak hal. Beberapa di antaranya,
kesulitan ekonomi dan keinginan mandiri dari penghasilan suami.
Pengajar Hukum
Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada Murti Pramuwardhani mengungkapkan, di
negeri ini pekerja sektor informal jumlahnya lebih banyak dari yang formal. Menurutnya,
hal itu terjadi karena pemerintah belum mampu menyediakan lapangan kerja bagi semua warga negara. “Mau tidak mau,
mestinya pemerintah memikirkan yang sektor informal,” kata dia ditemui, Selasa
31 Maret 2015.
Murti mengatakan, posisi pekerja
macam buruh gendong lemah secara hukum. Mereka tidak dilindungi Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Kebijakan itu hanya mencakup
tenaga kerja bidang formal.
Dia menambahkan, batasan formal
dan informal memang masih kabur. Tapi, rujukan pembeda dapat dicermati di UU.
“(Pekerja bidang formal) Jam kerjanya pasti, terstruktur, hubungan kerjanya
jelas, ada perjanjian kerjanya,” ujarnya. Tak satupun cocok dengan ciri-ciri
pekerjaan di bidang informal.
Buruh gendong tidak mengenal
jam kerja. Hubungan kerja dengan pengusaha juga nihil. Itu membuat perjanjian
kerja sampai kapan pun tak akan pernah mereka miliki. “Mereka itu kan pekerja mandiri yang mendapat upah
setelah dia memberikan jasa,” ucap Murti.
Berjuang lewat
Paguyuban
Di beberapa pasar di
Yogyakarta, buruh gendong membentuk paguyubannya sendiri. Paguyuban tertua di
Beringharjo, berdiri tahun 1992. Di Giwangan baru terbentuk tahun 2007. Dua
tahun yang lalu, paguyuban se-Yogyakarta berdiri dengan nama Sayuk Rukun, saat
ini diketuai Rubiyah. “Yang ikut baru Giwangan, Beringharjo, Kranggan (Kota
Yogyakarta), sama Gamping (Kabupaten Sleman),” kata Rubiyah.
Tahun 2008, Rubiyah masuk ke
paguyuban Giwangan. Mulanya dia tidak tertarik karena asing akan isu hak asasi
manusia yang diangkat paguyuban. “Wuh, rasane
(rasanya) merinding. Padahal dulu itu nggak
tau HAM itu apa,” tuturnya. Belakangan, ia memutuskan bergabung saat
mendengar arahan-arahan Yayasan Annisa Swasti (Yasanti), lembaga swadaya
masyarakat yang peduli persoalan buruh gendong, dalam sebuah pertemuan
paguyuban.
Buruh gendong bekerja
bukannya tanpa risakan. Namun mereka tidak diam saja. Wanita-wanita perkasa itu
berjuang dengan caranya sendiri. Melalui paguyuban buruh gendong, mereka tak
gentar melawan aral-aral seperti diskriminasi, jaminan perlindungan kerja yang
minim, ketidaklayakan upah, sampai pelecehan badan.
Diskriminasi memang sering
dialami buruh gendong. Menurut Rubiyah, hingga kini dia dan teman-temannya
belum diakui sebagai warga pasar. Di Giwangan, mereka tidak pernah dilibatkan
dalam pengambilan keputusan mengenai fasilitas pelayanan pasar. “Pedagang aja yang diprioritaskan. Padahal kita (buruh
gendong) yang banyak kerja,” katanya.
Jaminan perlindungan kerja
amat dibutuhkan buruh gendong, utamanya yang berasal dari luar Yogyakarta. Jika
mengalami kecelakaan, buruh gendong asal Yogyakarta bisa berobat ke Puskesmas
terdekat menggunakan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Tidak demikian
kawannya dari daerah lain. “Yang perantauan, seandainya kecelakaan, periksa
sendiri, obat sendiri. Nggak bisa
gratis,” tutur dia.
Perantau datang dari
Sukoharjo, Boyolali, Klaten, Wonogiri, Purworejo, Kulonprogo, dan Gunungkidul.
Rubiyah tidak memasukkan Bantul karena jaraknya dekat dengan tempat kerja.
“Yang Bantul itu pulang-pergi. Kalau yang lain-lain itu tidak,” katanya. Salah
satunya Rubiyah. Dia berangkat dari rumahnya di Kecamatan Pandak, Bantul, menggunakan
bus kota atau suaminya yang mengantarkan. “Tapi lebih sering naik bus,” tutur
Rubiyah.
Pekerja yang celaka
jumlahnya memang tak banyak. Namun, kata Rubiyah, pernah ada temannya yang tergelincir
karena lantai pasar licin. Kakinya lalu retak, tertimpa beban berat yang jatuh
dari gendongannya. “Biaya sendiri sampai sekarang. Belum sembuh malah, jadi nggak bisa jalan,” ujarnya.
Menurut Murti, kesehatan
buruh gendong wajib dilindungi. Selama ini aturan untuk itu belum ada. Padahal,
seperti penuturan Rubiyah, buruh gendong rentan mengalami kecelakaan kerja.
“Bagaimana pun, itu pekerjaan fisik. Gendong beban yang sangat berat itu
resikonya tinggi sekali,” ujar Murti.
Perlindungan kerja itu
menyangkut pula kesehatan reproduksi buruh gendong. Perempuan, ujar Murti,
sudah kodratnya mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, ataupun menyusui. Terkait
itu, baru tenaga kerja sektor formal yang mendapat perlindungan, terutama dari
UU Ketenagakerjaan. Sebagai contoh, Pasal 76 ayat (2) mengatur larangan
pengusaha mempekerjakan di atas pukul 11 malam pekerja perempuan yang sedang
hamil. “Kalau pengusaha melanggar hal itu, kemudian ada yang menegur,” kata
dia.
Sistem pengupahan buruh
gendong amat memprihatinkan. Sebelum ada paguyuban, seberat apapun beban di
pundak, buruh gendong paling banyak mengantungi Rp 2 ribu sekali jalan. Untuk
mengatasi sedikitnya upah, biasanya Rubiyah meminjam uang ke sana-sini. Hal
demikian juga dilakukan buruh gendong lainnya. Prinsip mereka: cukup nggak cukup ya harus cukup,
seperti dituturkan Rubiyah.
Menurut Murti, buruh gendong
berhak dibayar lebih dari yang sekarang mereka dapatkan. “Itu upah nggak lazim. Bayangkan, dengan kerja
membawa beban berat seperti itu,” kata dia.
Himpitan masalah, sejak ada
paguyuban, perlahan berkurang. Diskriminasi dan pelecehan sudah tak sering lagi
dialami buruh gendong. Yasanti mendorong mereka melalui sekolah kepemimpinan
perempuan. Lewat itu, buruh gendong memahami persoalan gender, diskriminasi,
HAM, sampai hak pekerja perempuan. “Kita jadi tahu. Nggak takut lagi sama laki-laki yang mau macem-macem. Kita yo bisa
ngomong,” ujar Rubiyah.
Upah buruh gendong juga
meningkat. Saat ini, mereka mendapatkan Rp 3 ribu untuk setiap bawaan di atas
50 kilogram. “Itu (upah) sulit naikkannya. Baru naik berapa bulan ini setelah
kami (paguyuban Giwangan) perjuangkan,” tutur Rubiyah.
Murti menilai, kesulitan
muncul karena posisi tawar buruh gendong yang lemah. Saat buruh gendong
menaikkan standar upah, dikhawatirkan pembeli tidak lagi menggunakan jasa
mereka. “Pengguna bakal memilih yang laki-laki. Dia pasti berpikir, lebih kuat
yang laki-laki. Kemudian buruh gendong nggak
kepakai lagi,” ujarnya.
Paguyuban Giwangan mengatasi
persoalan upah dengan mendirikan koperasi simpan pinjam. Anggota membayar iuran
sukarela dan wajib sebesar Rp 2 ribu perbulan demi kelangsungan koperasi.
“Pengelolanya kita sendiri, yang pinjam kita-kita juga,” kata Rubiyah.
Tapi masih ada yang belum
tercapai: jaminan perlindungan kerja. “Pengennya
kami seandainya kecelakaan di pasar, bisa periksa kemana saja, nggak bayar,” ucap Rubiyah. Itulah
mengapa Sayuk Rukun mendesak pemerintah mengakui keberadaan buruh gendong. Demi
mendapat pengakuan itu, mereka mendatangi Dinas Pengelolaan Pasar (Dinlopas) Kota
Yogyakarta dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Yogyakarta.
Hasil persamuhan, pengakuan
memang lahir, tapi hanya lewat ucapan. Rubiyah dan kawan-kawan menginginkan
pernyataan tertulis dari pihak-pihak yang mereka temui. Bahkan Sayuk Rukun telah
2 kali mendesak DPRD lewat usaha audiensi.
Rubiyah mengakui, DPRD bukannya
diam saja kala disambangi Sayuk Rukun. Kali pertama mereka menggeruduk
parlemen, awal Desember tahun lalu, Ketua DPRD Yoeke Indra Agung mensinyalir
bakal mendukung buruh gendong. “Kami mendukung apa yang buruh gendong inginkan,”
ujar Rubiyah, menirukan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.
Sayuk Rukun melancarkan aksi
kedua hari Selasa, 24 Maret 2015. Hari itu turut pula ratusan pekerja rumah
tangga di DIY yang menuntut pengesahan Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah
Tangga. Rubiyah mengungkapkan, aksi
tersebut dilakukan karena DPRD tak kunjung menepati “janjinya” lewat ucapan
Yoeke.
Ada 4 tuntutan buruh gendong
saat itu. Pertama, pemerintah mengakui mereka sebagai pekerja dan segera
memberi jaminan perlindungan kerja serta upah layak. Kedua, pemerintah mengakui
buruh gendong sebagai warga pasar dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan
pelayanan publik di pasar. Ketiga, buruh gendong disediakan fasilitas
kesehatan. Terakhir, meminta pemerintah menyediakan ruang pertemuan dan ruang
istirahat.
Ketika matahari tepat di atas kepala, baru
mereka dihampiri anggota dewan. Padahal massa buruh gendong mengerubung di
pelataran depan DPRD sejak pukul 9 pagi. Kala itu legislator asal PDIP Eko
Suwanto yang meladeni mereka. Tutur Rubiyah, ternyata tanggapannya setali tiga
uang dengan ucapan Yoeke. “Belum ada hasil berarti,” katanya.
Yoeke menolak jika DPRD
disebut tidak bertindak sama sekali. Setelah aksi pertama Sayuk Rukun, dia
langsung meminta Komisi D DPRD berkoordinasi dengan Dinlopas. “Masalahnya, itu (penentuan
kebijakan pengelolaan pasar) bukan (kewenangan) kita (DPRD),” tutur dia di
DPRD, Selasa, 31 Maret 2015.
Lurah sekaligus Koordinator
Pasar Giwangan dari Dinlopas Antoni Prasetyo mengatakan, Dinlopas sebenarnya
mengakui buruh gendong sebagai warga pasar. Hal itu dibuktikan dengan
pembentukan Seksi Pemberdayaan Pedagang dan Komunitas Pasar di bawah Dinlopas.
Unsur komunitas itu salah satunya paguyuban buruh gendong. “Secara umum disini
(Giwangan) sudah (diakui),” katanya di kantornya, Selasa, 14 April 2015.
Gubernur DIY Sultan
Hamengkubuwono X, ketika ditanyai pendapatnya akan tuntutan buruh gendong,
tidak banyak berkomentar. Raja Keraton Yogyakarta itu hanya menyatakan, urusan
buruh gendong merupakan wewenang Pemerintah Kabupaten atau Kota. “Itu kan warga
masyarakatnya (Kabupaten/Kota). Berarti (Pemkab/pemkot yang) punya kewajiban,”
tutur Sultan ditemui, Selasa, 31 Maret 2015.
Demi Anak Cucu
Rubiyah menunjukkan sebuah
gambar di ponselnya. Ada dia dan sosok Presiden Republik Indonesia, Joko
Widodo, disana. “Itu ketemu waktu di Gedung Agung,” tuturnya. Perasan bangga
terkuak dari wajahnya. Ia puas sekaligus bahagia.
Rubiyah diundang ke Gedung
Agung (Istana Kepresidenan RI di Yogyakarta) menghadiri peringatan Hari HAM
sedunia, 9 Desember tahun kemarin. Dia datang mewakili Sayuk Rukun. Wanita itu
tidak kecil hati meskipun di sekitarnya banyak tokoh beken macam Sultan
Hamengkubuwono X, para menteri, dan tentu saja Jokowi. “Aku yo cuek aja,” ucapnya.
Hanya satu impiannya:
bertatap muka dengan Jokowi. Ia menanti hingga acara berakhir. Penungguannya
tidak sia-sia. Tak sekadar adu pandang, Rubiyah buruh gendong bahkan terlibat
pembicaraan dengan Jokowi presiden. Dia masih ingat percakapan ketika itu.
“Ini loh Pak, ada kelompok
buruh gendong. Saya ketua buruh gendong DIY, Pak. Ini anak-anakmu minta
dukungan Bapak.”
Pria asli Surakarta itu
sontak kaget. “Lho, masak Ibu buruh gendong?” balas Jokowi, diikuti tawa riuh
orang-orang di sekitar mereka, dan tentunya diakhiri sesi foto Rubiyah dan sang
presiden.
Rubiyah juga
pernah bersua Mufidah Kalla, istri Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla. Tempatnya
sama, di Gedung Agung. Waktunya Selasa, 24 Maret 2015, selepas aksi di DPRD, 4
bulan berselang sejak dia bertemu Jokowi,. Kala itu Nyonya Kalla khusus
mengundang buruh gendong ke Gedung Agung untuk memberikan jarik (kain tradisional Jawa). “Semacam tali kasih lah,” ujar
Rubiyah.
Rubiyah sebetulnya menantikan
dialog dengan Mufidah. Namun hingga penyerahan jarik usai, yang diangankan dia tak kunjung terjadi. Kesabarannya
luluh saat pembawa acara menyatakan Mufidah akan meninggalkan ruangan. Ia
langsung melompat dari kursinya, sigap mencegat Nyonya Kalla, lalu mengajak
bicara.
“Bu, buruh gendong ini ada
keluhan-keluhan.”
“Apa keluhannya?”
“Tolong ya Bu, perjuangan
kami didukung ya Bu.”
“Oh iya, iya.”
Setelah itu Rubiyah hanya
berharap permintaannya diteruskan ke Jakarta. “Mudah-mudahan ya beneran.
Mungkin Tuhan itu mengganti, yang DPRD nggak
menanggapi, malah yang lebih tinggi (yang menanggapi),” kata dia.
Dua kisah itu dituturkan
Rubiyah di ruang rehat buruh gendong Pasar Giwangan. Paguyuban menyebutnya shelter.
Di bilik seluas 3 meter x 3 meter itu, buruh gendong Pasar Giwangan
biasa melepas penat. Letaknya di bagian belakang pasar, 500 meter dari gerbang timur.
Mereka juga memakainya untuk bersalin pakaian sebelum bekerja dan rapat
pengurus paguyuban.
Intinya, shelter merupakan pusat kegiatan
paguyuban Giwangan. Mereka meminta Dinlopas menyediakannya sejak tahun 2007.
Lima tahun setelah itu baru terwujud. Sebuah perusahaan kosmetik terkemuka lalu
menalangi pembangunannya.
Belum lama menikmati ruang
rehat, paguyuban langsung tertimpa masalah. Mereka disodori tagihan retribusi oleh
Lurah sebelum Antoni.
“Dia (mantan Lurah) inginnya
semua bangunan disini (Pasar Giwangan) harus membayar retribusi. Kita bilang,
‘Ini (shelter) kan untuk sosial. Kalau buat berdagang baru kita
kontribusi’,” tutur Ummi Asih, pendamping paguyuban Giwangan dari Yasanti.
“(Kala itu) Kita bisanya
cuma nangis,” ujar Rubiyah.
Awal tahun 2013, Rubiyah dan
kawan-kawan mendatangi Walikota Yogyakarta Haryadi Suyuti. “Sambil nangis
juga,” kata dia mengenang. “Akhirnya Bapak Walikota bilang, ‘Siapa saja kalau
ada yang minta retribusi, ngomong aja ke saya’,” katanya mengulang perkataan
Haryadi. Sejak itu, tak ada lagi kertas tagihan yang mampir di pintu shelter.
Antoni menekankan, shelter adalah fasilitas gratis dari
Dinlopas. “Jangan jadi diartikan, itu (shelter)
mereka (buruh gendong) bayar sewa setiap tahun, sekian (rupiah),” kata dia.
Shelter ibarat monumen penanda, buruh gendong tak pernah berhenti berjuang.
Wanita-wanita perkasa itu menolak menyerah pada jerat kemiskinan dan
keterbatasan. Rubiyah mengungkapkan, semuanya demi masa depan anak cucu mereka.
“Biar (menjadi buruh gendong) dirasain orangtuanya aja. Mudah-mudahan anaknya nggak,”
tutur Rubiyah.
*(Finalis Lomba Penulisan Berita In-depth Reporting Tingkat Nasional yang diselenggarakan Universitas Negeri Yogyakarta, Mei 2015)
No comments:
Post a Comment