June 8, 2015

Merajut Harapan dari Giwangan*

n



Ingatan Rubiyah (50) berpulang pada peristiwa sedasawarsa silam. Saat itu, dia diminta menghadap ke sekolah anak sulungnya di Manding, Kabupaten Bantul. Rupanya karena sudah 4 bulan tak membayar uang sekolah. Bagi Rubiyah jumlahnya mencekik: Rp 148 ribu. Ia nelangsa. “Aku yo nangis, gimana ya ini caranya,” tutur dia di Pasar Giwangan, Yogyakarta, Kamis, 26 Maret 2015.

Keluarga Rubiyah hanya bersandar pada penghasilan kepala keluarga, tukang becak di kawasan wisata Malioboro, Yogyakarta. Pendapatan sang suami tak seberapa. Tanggungannya banyak. Si nomor satu, kelas 2 SMA, punya 3 adik yang masih kecil-kecil. Rubiyah, kala itu, hanya ibu rumah tangga biasa.

Panggilan dari SMA itu kemudian mengubah haluan hidupnya. Dia memutuskan ikut menafkahi keluarga. Hanya satu cara yang terpikir oleh Rubiyah: menjadi buruh gendong. “Dulu itu terpaksa. Kepepet,” ujar wanita asal Bantul itu.  

Rubiyah pertama-tama menggendong di lantai 3 kawasan Shopping Center (kerap disebut Shopping saja), selatan Pasar Beringharjo. Hasilnya lumayan. Buktinya, tunggakan uang sekolah anaknya beres, bahkan hingga lulus SMA. “Alhamdulillah, dapat rezeki,” katanya.

Tahun 2007, ia pindah ke Pasar Giwangan, pasar induk buah dan sayur di selatan Kota Yogyakarta. Pedagang disana pindahan dari Shopping, tempat awal Rubiyah bekerja. 

Dalam sehari, Rubiyah bisa mengantungi Rp 20 ribu hingga 25 ribu. Saat Pasar Giwangan ramai atau buruh gendong tak banyak yang bekerja, jumlah itu dapat mencapai Rp 50 ribu.     

Selain Rubiyah, ada 130-an wanita yang menjadi buruh gendong di Giwangan. Kebanyakan dari mereka usianya tidak muda lagi. Kawan Rubiyah, Bandiyah (54), sudah menggendong sejak 30 tahun yang lalu. Seperti Rubiyah, dia memulainya dari Beringharjo. “Saya mulai (sejak masih) gadis. Tahun 1975 udah di Beringharjo,” kata Bandiyah.

Bandiyah asli Desa Tuksono, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulonprogo. Di rumahnya hanya ia seorang diri. Suaminya sudah tiada. Bandiyah mempunyai 2 anak, semuanya menetap di perantauan. Mereka memburuh di sebuah pabrik kayu di Cicadas, Bogor. Tutur Bandiyah, si bungsu bakal kembali ke Tuksono, akhir bulan April. “Mau nemani ibunya,” ucap dia.

Bandiyah pulang menggunakan bus. Ia biasa mencegat angkutan itu dari tepi jalan lingkar luar Yogyakarta, tak jauh dari Pasar Giwangan. Wanita itu lalu turun di simpang tiga Ngelu, Kecamatan Sentolo. Dari sana dia melanjutkan perjalanan dengan ojek bertarif Rp 10 ribu hingga rumahnya. 

Karena Giwangan jauh dari desanya, Bandiyah tidak setiap hari pulang ke rumah. Dia menyiasati dengan tidur di los pedagang buah yang kosong ketika malam. Seringnya, 3 hari sekali dia baru kembali ke Tuksono. “Habis mau gimana,” ucapnya.

Dinginnya malam tak lagi merisaukan Bandiyah. Ada peribahasa: tak ada rotan, akar pun jadi. Dalam pengalaman Bandiyah: tak ada selimut, karung dan kardus pun jadi. “Saya masuk malah jadi hangat,” tutur dia.   

Saat hujan turun, air menyelonong dari titik-titik bocor atap areal pedagang buah yang ditidurinya. Kalau ada angin, air bahkan bertempias dari sekeliling tempat itu. Solusinya, ujar Bandiyah, mudah saja. “Cari tempat yang nggak bocor dan nggak kena angin.”


Lemah di Muka Hukum       

Dosen Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Yogyakarta Nur Hidayah, tahun 2009, meneliti kehidupan buruh gendong Pasar Giwangan dalam Eksistensi Buruh Gendong sebagai Pilihan Pekerjaan di Sektor Informal. Dia menuliskan, wanita-wanita yang kini menjadi buruh gendong sebagian besar dari pedesaan. Mereka mengadu nasib ke kota karena banyak hal. Beberapa di antaranya, kesulitan ekonomi dan keinginan mandiri dari penghasilan suami. 

Pengajar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada Murti Pramuwardhani mengungkapkan, di negeri ini pekerja sektor informal jumlahnya lebih banyak dari yang formal. Menurutnya, hal itu terjadi karena pemerintah belum mampu menyediakan lapangan kerja bagi semua warga negara. “Mau tidak mau, mestinya pemerintah memikirkan yang sektor informal,” kata dia ditemui, Selasa 31 Maret 2015.

Murti mengatakan, posisi pekerja macam buruh gendong lemah secara hukum. Mereka tidak dilindungi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Kebijakan itu hanya mencakup tenaga kerja bidang formal.  

Dia menambahkan, batasan formal dan informal memang masih kabur. Tapi, rujukan pembeda dapat dicermati di UU. “(Pekerja bidang formal) Jam kerjanya pasti, terstruktur, hubungan kerjanya jelas, ada perjanjian kerjanya,” ujarnya. Tak satupun cocok dengan ciri-ciri pekerjaan di bidang informal.

Buruh gendong tidak mengenal jam kerja. Hubungan kerja dengan pengusaha juga nihil. Itu membuat perjanjian kerja sampai kapan pun tak akan pernah mereka miliki. “Mereka itu kan pekerja mandiri yang mendapat upah setelah dia memberikan jasa,” ucap Murti.


Berjuang lewat Paguyuban

Di beberapa pasar di Yogyakarta, buruh gendong membentuk paguyubannya sendiri. Paguyuban tertua di Beringharjo, berdiri tahun 1992. Di Giwangan baru terbentuk tahun 2007. Dua tahun yang lalu, paguyuban se-Yogyakarta berdiri dengan nama Sayuk Rukun, saat ini diketuai Rubiyah. “Yang ikut baru Giwangan, Beringharjo, Kranggan (Kota Yogyakarta), sama Gamping (Kabupaten Sleman),” kata Rubiyah.

Tahun 2008, Rubiyah masuk ke paguyuban Giwangan. Mulanya dia tidak tertarik karena asing akan isu hak asasi manusia yang diangkat paguyuban. “Wuh, rasane (rasanya) merinding. Padahal dulu itu nggak tau HAM itu apa,” tuturnya. Belakangan, ia memutuskan bergabung saat mendengar arahan-arahan Yayasan Annisa Swasti (Yasanti), lembaga swadaya masyarakat yang peduli persoalan buruh gendong, dalam sebuah pertemuan paguyuban.

Buruh gendong bekerja bukannya tanpa risakan. Namun mereka tidak diam saja. Wanita-wanita perkasa itu berjuang dengan caranya sendiri. Melalui paguyuban buruh gendong, mereka tak gentar melawan aral-aral seperti diskriminasi, jaminan perlindungan kerja yang minim, ketidaklayakan upah, sampai pelecehan badan.

Diskriminasi memang sering dialami buruh gendong. Menurut Rubiyah, hingga kini dia dan teman-temannya belum diakui sebagai warga pasar. Di Giwangan, mereka tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan mengenai fasilitas pelayanan pasar. “Pedagang aja yang diprioritaskan. Padahal kita (buruh gendong) yang banyak kerja,” katanya.

Jaminan perlindungan kerja amat dibutuhkan buruh gendong, utamanya yang berasal dari luar Yogyakarta. Jika mengalami kecelakaan, buruh gendong asal Yogyakarta bisa berobat ke Puskesmas terdekat menggunakan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Tidak demikian kawannya dari daerah lain. “Yang perantauan, seandainya kecelakaan, periksa sendiri, obat sendiri. Nggak bisa gratis,” tutur dia.

Perantau datang dari Sukoharjo, Boyolali, Klaten, Wonogiri, Purworejo, Kulonprogo, dan Gunungkidul. Rubiyah tidak memasukkan Bantul karena jaraknya dekat dengan tempat kerja. “Yang Bantul itu pulang-pergi. Kalau yang lain-lain itu tidak,” katanya. Salah satunya Rubiyah. Dia berangkat dari rumahnya di Kecamatan Pandak, Bantul, menggunakan bus kota atau suaminya yang mengantarkan. “Tapi lebih sering naik bus,” tutur Rubiyah.

Pekerja yang celaka jumlahnya memang tak banyak. Namun, kata Rubiyah, pernah ada temannya yang tergelincir karena lantai pasar licin. Kakinya lalu retak, tertimpa beban berat yang jatuh dari gendongannya. “Biaya sendiri sampai sekarang. Belum sembuh malah, jadi nggak bisa jalan,” ujarnya.

Menurut Murti, kesehatan buruh gendong wajib dilindungi. Selama ini aturan untuk itu belum ada. Padahal, seperti penuturan Rubiyah, buruh gendong rentan mengalami kecelakaan kerja. “Bagaimana pun, itu pekerjaan fisik. Gendong beban yang sangat berat itu resikonya tinggi sekali,” ujar Murti.

Perlindungan kerja itu menyangkut pula kesehatan reproduksi buruh gendong. Perempuan, ujar Murti, sudah kodratnya mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, ataupun menyusui. Terkait itu, baru tenaga kerja sektor formal yang mendapat perlindungan, terutama dari UU Ketenagakerjaan. Sebagai contoh, Pasal 76 ayat (2) mengatur larangan pengusaha mempekerjakan di atas pukul 11 malam pekerja perempuan yang sedang hamil. “Kalau pengusaha melanggar hal itu, kemudian ada yang menegur,” kata dia.

Sistem pengupahan buruh gendong amat memprihatinkan. Sebelum ada paguyuban, seberat apapun beban di pundak, buruh gendong paling banyak mengantungi Rp 2 ribu sekali jalan. Untuk mengatasi sedikitnya upah, biasanya Rubiyah meminjam uang ke sana-sini. Hal demikian juga dilakukan buruh gendong lainnya. Prinsip mereka: cukup nggak cukup ya harus cukup, seperti dituturkan Rubiyah.

Menurut Murti, buruh gendong berhak dibayar lebih dari yang sekarang mereka dapatkan. “Itu upah nggak lazim. Bayangkan, dengan kerja membawa beban berat seperti itu,” kata dia.

Himpitan masalah, sejak ada paguyuban, perlahan berkurang. Diskriminasi dan pelecehan sudah tak sering lagi dialami buruh gendong. Yasanti mendorong mereka melalui sekolah kepemimpinan perempuan. Lewat itu, buruh gendong memahami persoalan gender, diskriminasi, HAM, sampai hak pekerja perempuan. “Kita jadi tahu. Nggak takut lagi sama laki-laki yang mau macem-macem. Kita yo bisa ngomong,” ujar Rubiyah.    

Upah buruh gendong juga meningkat. Saat ini, mereka mendapatkan Rp 3 ribu untuk setiap bawaan di atas 50 kilogram. “Itu (upah) sulit naikkannya. Baru naik berapa bulan ini setelah kami (paguyuban Giwangan) perjuangkan,” tutur Rubiyah. 

Murti menilai, kesulitan muncul karena posisi tawar buruh gendong yang lemah. Saat buruh gendong menaikkan standar upah, dikhawatirkan pembeli tidak lagi menggunakan jasa mereka. “Pengguna bakal memilih yang laki-laki. Dia pasti berpikir, lebih kuat yang laki-laki. Kemudian buruh gendong nggak kepakai lagi,” ujarnya.

Paguyuban Giwangan mengatasi persoalan upah dengan mendirikan koperasi simpan pinjam. Anggota membayar iuran sukarela dan wajib sebesar Rp 2 ribu perbulan demi kelangsungan koperasi. “Pengelolanya kita sendiri, yang pinjam kita-kita juga,” kata Rubiyah.

Tapi masih ada yang belum tercapai: jaminan perlindungan kerja. “Pengennya kami seandainya kecelakaan di pasar, bisa periksa kemana saja, nggak bayar,” ucap Rubiyah. Itulah mengapa Sayuk Rukun mendesak pemerintah mengakui keberadaan buruh gendong. Demi mendapat pengakuan itu, mereka mendatangi Dinas Pengelolaan Pasar (Dinlopas) Kota Yogyakarta dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Yogyakarta.

Hasil persamuhan, pengakuan memang lahir, tapi hanya lewat ucapan. Rubiyah dan kawan-kawan menginginkan pernyataan tertulis dari pihak-pihak yang mereka temui. Bahkan Sayuk Rukun telah 2 kali mendesak DPRD lewat usaha audiensi.     

Rubiyah mengakui, DPRD bukannya diam saja kala disambangi Sayuk Rukun. Kali pertama mereka menggeruduk parlemen, awal Desember tahun lalu, Ketua DPRD Yoeke Indra Agung mensinyalir bakal mendukung buruh gendong. “Kami mendukung apa yang buruh gendong inginkan,” ujar Rubiyah, menirukan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Sayuk Rukun melancarkan aksi kedua hari Selasa, 24 Maret 2015. Hari itu turut pula ratusan pekerja rumah tangga di DIY yang menuntut pengesahan Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga.  Rubiyah mengungkapkan, aksi tersebut dilakukan karena DPRD tak kunjung menepati “janjinya” lewat ucapan Yoeke.

Ada 4 tuntutan buruh gendong saat itu. Pertama, pemerintah mengakui mereka sebagai pekerja dan segera memberi jaminan perlindungan kerja serta upah layak. Kedua, pemerintah mengakui buruh gendong sebagai warga pasar dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan pelayanan publik di pasar. Ketiga, buruh gendong disediakan fasilitas kesehatan. Terakhir, meminta pemerintah menyediakan ruang pertemuan dan ruang istirahat.

Ketika matahari tepat di atas kepala, baru mereka dihampiri anggota dewan. Padahal massa buruh gendong mengerubung di pelataran depan DPRD sejak pukul 9 pagi. Kala itu legislator asal PDIP Eko Suwanto yang meladeni mereka. Tutur Rubiyah, ternyata tanggapannya setali tiga uang dengan ucapan Yoeke. “Belum ada hasil berarti,” katanya.

Yoeke menolak jika DPRD disebut tidak bertindak sama sekali. Setelah aksi pertama Sayuk Rukun, dia langsung meminta Komisi D DPRD berkoordinasi dengan Dinlopas. “Masalahnya, itu (penentuan kebijakan pengelolaan pasar) bukan (kewenangan) kita (DPRD),” tutur dia di DPRD, Selasa, 31 Maret 2015.

Lurah sekaligus Koordinator Pasar Giwangan dari Dinlopas Antoni Prasetyo mengatakan, Dinlopas sebenarnya mengakui buruh gendong sebagai warga pasar. Hal itu dibuktikan dengan pembentukan Seksi Pemberdayaan Pedagang dan Komunitas Pasar di bawah Dinlopas. Unsur komunitas itu salah satunya paguyuban buruh gendong. “Secara umum disini (Giwangan) sudah (diakui),” katanya di kantornya, Selasa, 14 April 2015.    

Gubernur DIY Sultan Hamengkubuwono X, ketika ditanyai pendapatnya akan tuntutan buruh gendong, tidak banyak berkomentar. Raja Keraton Yogyakarta itu hanya menyatakan, urusan buruh gendong merupakan wewenang Pemerintah Kabupaten atau Kota. “Itu kan warga masyarakatnya (Kabupaten/Kota). Berarti (Pemkab/pemkot yang) punya kewajiban,” tutur Sultan ditemui, Selasa, 31 Maret 2015.


Demi Anak Cucu

Rubiyah menunjukkan sebuah gambar di ponselnya. Ada dia dan sosok Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, disana. “Itu ketemu waktu di Gedung Agung,” tuturnya. Perasan bangga terkuak dari wajahnya. Ia puas sekaligus bahagia.

Rubiyah diundang ke Gedung Agung (Istana Kepresidenan RI di Yogyakarta) menghadiri peringatan Hari HAM sedunia, 9 Desember tahun kemarin. Dia datang mewakili Sayuk Rukun. Wanita itu tidak kecil hati meskipun di sekitarnya banyak tokoh beken macam Sultan Hamengkubuwono X, para menteri, dan tentu saja Jokowi. “Aku yo cuek aja,” ucapnya.

Hanya satu impiannya: bertatap muka dengan Jokowi. Ia menanti hingga acara berakhir. Penungguannya tidak sia-sia. Tak sekadar adu pandang, Rubiyah buruh gendong bahkan terlibat pembicaraan dengan Jokowi presiden. Dia masih ingat percakapan ketika itu.

“Ini loh Pak, ada kelompok buruh gendong. Saya ketua buruh gendong DIY, Pak. Ini anak-anakmu minta dukungan Bapak.”

Pria asli Surakarta itu sontak kaget. “Lho, masak Ibu buruh gendong?” balas Jokowi, diikuti tawa riuh orang-orang di sekitar mereka, dan tentunya diakhiri sesi foto Rubiyah dan sang presiden.

Rubiyah juga pernah bersua Mufidah Kalla, istri Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla. Tempatnya sama, di Gedung Agung. Waktunya Selasa, 24 Maret 2015, selepas aksi di DPRD, 4 bulan berselang sejak dia bertemu Jokowi,. Kala itu Nyonya Kalla khusus mengundang buruh gendong ke Gedung Agung untuk memberikan jarik (kain tradisional Jawa). “Semacam tali kasih lah,” ujar Rubiyah.

Rubiyah sebetulnya menantikan dialog dengan Mufidah. Namun hingga penyerahan jarik usai, yang diangankan dia tak kunjung terjadi. Kesabarannya luluh saat pembawa acara menyatakan Mufidah akan meninggalkan ruangan. Ia langsung melompat dari kursinya, sigap mencegat Nyonya Kalla, lalu mengajak bicara.

“Bu, buruh gendong ini ada keluhan-keluhan.”
“Apa keluhannya?”
“Tolong ya Bu, perjuangan kami didukung ya Bu.”
“Oh iya, iya.”

Setelah itu Rubiyah hanya berharap permintaannya diteruskan ke Jakarta. “Mudah-mudahan ya beneran. Mungkin Tuhan itu mengganti, yang DPRD nggak menanggapi, malah yang lebih tinggi (yang menanggapi),” kata dia.

Dua kisah itu dituturkan Rubiyah di ruang rehat buruh gendong Pasar Giwangan. Paguyuban menyebutnya shelter.  Di bilik seluas 3 meter x 3 meter itu, buruh gendong Pasar Giwangan biasa melepas penat. Letaknya di bagian belakang pasar, 500 meter dari gerbang timur. Mereka juga memakainya untuk bersalin pakaian sebelum bekerja dan rapat pengurus paguyuban.

Intinya, shelter merupakan pusat kegiatan paguyuban Giwangan. Mereka meminta Dinlopas menyediakannya sejak tahun 2007. Lima tahun setelah itu baru terwujud. Sebuah perusahaan kosmetik terkemuka lalu menalangi pembangunannya.

Belum lama menikmati ruang rehat, paguyuban langsung tertimpa masalah. Mereka disodori tagihan retribusi oleh Lurah sebelum Antoni.  

“Dia (mantan Lurah) inginnya semua bangunan disini (Pasar Giwangan) harus membayar retribusi. Kita bilang, ‘Ini  (shelter) kan untuk sosial. Kalau buat berdagang baru kita kontribusi’,” tutur Ummi Asih, pendamping paguyuban Giwangan dari Yasanti.

“(Kala itu) Kita bisanya cuma nangis,” ujar Rubiyah.

Awal tahun 2013, Rubiyah dan kawan-kawan mendatangi Walikota Yogyakarta Haryadi Suyuti. “Sambil nangis juga,” kata dia mengenang. “Akhirnya Bapak Walikota bilang, ‘Siapa saja kalau ada yang minta retribusi, ngomong aja ke saya’,” katanya mengulang perkataan Haryadi. Sejak itu, tak ada lagi kertas tagihan yang mampir di pintu shelter.

Antoni menekankan, shelter adalah fasilitas gratis dari Dinlopas. “Jangan jadi diartikan, itu (shelter) mereka (buruh gendong) bayar sewa setiap tahun, sekian (rupiah),” kata dia.

Shelter ibarat monumen penanda, buruh gendong tak pernah berhenti berjuang. Wanita-wanita perkasa itu menolak menyerah pada jerat kemiskinan dan keterbatasan. Rubiyah mengungkapkan, semuanya demi masa depan anak cucu mereka. “Biar (menjadi buruh gendong) dirasain orangtuanya aja. Mudah-mudahan anaknya nggak,” tutur Rubiyah.  

*(Finalis Lomba Penulisan Berita In-depth Reporting Tingkat Nasional yang diselenggarakan Universitas Negeri Yogyakarta, Mei 2015)

No comments:

Post a Comment