Sebelum ini
saya tidak pernah menuliskan refleksi (bisakah disebut demikian?) atas khotbah
mingguan di gereja. Banyak yang bilang kalau aura gereja memberikan tenaga baru
bagi setiap jemaat yang sedang beribadah. Kemungkinan, tulisan ini tak lepas
dari “aura” tersebut, yang memang belakangan baru saya rasai sendiri, bukan lagi
lewat omongan orang-orang. Mungkin saja bakal anda rasakan apabila
berusaha menjiwai waktu ibadah anda, apapun kepercayaan atau agama yang anda
hela.
Bacaan pada ibadah hari ini tak
bisa dipisahkan dengan khotbah minggu lalu. Kebetulan keduanya disampaikan
dalam mimbar identik, HKBP Kota Yogyakarta. Intinya serupa, dunia penuh bala
dan manusia yang punya pilihan tapi tak terampil menggunakannya. Pilihan apa?
Pendeta
Robinson Rajagukguk dalam khotbahnya minggu lalu, 18 Januari 2015, mengangkat isu
nafsu yang membelenggu. Lewat gaya penyampaian yang menohok namun tak jadi
menggurui (faktor utama yang menjadikannya sebagai pengkhotbah favorit saya),
ia mencontohkan situasi di Kota Korintus pada masa apostolik Rasul Paulus. Disana,
jemaat kristen purba dihadapkan pada dua faham hidup yang saling berkebalikan,
yakni libertarianisme dan asketisme (hanya Pendeta Robin mungkin yang mampu
mengemas khotbah filsafati semacam ini menjadi ngepop dan diterima telinga jemaat kebanyakan).
Paulus
gencar mengingatkan jemaat di Korintus untuk tak jatuh pada keduanya. Jika
tunduk pada libertarianisme, mereka tak ubahnya para pelaut, pedagang, pemabuk,
pemadat, dan pelacur yang kala itu tumpah ruah di kota perdagangan terkemuka
itu. Kalau kemudian jadi asketis, para jemaat sama saja dengan orang-orang
Yahudi di Korintus, yang pada praktiknya mencibir kelakuan hedonis Korintus dan
dengan itu menganggap diri mereka paling suci.
Pilih
yang mana? Simak saja ayat-ayat berikut:
“Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak
seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat
antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan
gelap?” (2 Korintus 6:14)
“Apakah hubungan bait Allah dengan berhala?
Karena kita adalah bait dari Allah yang hidup menurut firman Allah ini: ‘Aku
akan diam bersama-sama dengan mereka dan hidup di tengah-tengah mereka, dan Aku
akan menjadi Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat-Ku.” (2 Korintus 6:16)
“Sebab itu: Keluarlah kamu dari antara
mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah
menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu.” (2 Korintus 6:17)
Jelas bukan, apa yang dipinta
Paulus kepada umat Kristus di Korintus? Sama saja dengan yang dialami manusia
di tahun 2015, masa dimana libertarianisme bukan lagi sekedar virus namun telah
mengakar di setiap lini kehidupan. Tantangannya dewasa ini makin runyam, untuk
itu tuntunan Tuhan melalui ketiga ayat di atas mestinya jadi pegangan, begitu
papar Pendeta Robin.
Nah, khotbah dalam ibadah pukul
17.30 tadi tak salah bila disebut sebagai sekuel edisi 18 Januari 2015. Kali ini
adalah tentang pemeliharaan Tuhan kepada manusia. Saat di hadapan kita
terbentang aral, Tuhan tak akan membiarkan manusia kepadanya terjejal. Singkatnya
begitu.
Tapi kalau stop sampai itu, tak
jadi refleksi namanya. Tema di atas terasa mengecap di hati karena situasi yang
saya dapati hari-hari belakangan ini memang butuh serum penawarnya. Intinya
memang pada wilayah cita-cita, problem utama bagi mahasiswa tingkat akhir di
kampus manapun.
Dalam satu tahun ke depan, hasrat
utama saya ialah menjadi reporter bagi Tempo atau Kompas. Untuk menuju ke sana bukan
segampang menyibak permukaan air pada kolam lele. Tentu tak dapat saya melamar pekerjaan jika
tak punya ijazah S1. Untuk meraihnya, saya mesti menyelesaikan seluruh mata
kuliah di kelas dan satu mata kuliah indefinite sentence yang namanya “Penulisan Hukum” alias “Skripsi”.
Syarat pertama sejauh ini telah
saya tuntaskan, tapi yang belakangan garis startnya saja belum sama gapai. Apa
yang terpenting? Keseriusan? Ketahanan? Antimalas? Yang menjawab salah satu
diantara ketiganya dipastikan mengamini peribahasa “semut di seberang lautan
tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak.” Pelajaran Nomor 1 dari seorang
pemabuk kepada anaknya yang mau menulis skripsi: “kamu mesti punya judul
skripsi.”
Itu yang terpenting, bosku!
Ayat dari Pendeta Monris, Mazmur 17:8, yang isinya “Peliharalah
aku seperti biji mata, sembunyikanlah aku dalam naungan sayap-Mu”, langsung
bersirobok di dalam otak dan perasaan saya. Pukul 8 pagi esok hari saya telah
membikin janji untuk bertatap muka dengan Bu Any Anjarwati, si ketua bagian
Hukum Agraria, dengan agenda membahas tema yang bakal saya jadikan judul
penulisan hukum kelak. Kemungkinannya hanya dua: tema saya diteken atau disuruh
mencari bahasan yang lain (baca: permasalahan yang bagi dosen lebih memiliki
kompleksitas yuridis). Ayat tersebut bukan saya gunakan untuk jimat, apalagi
mantra penolak tercapainya kemungkinan yang kedua. Dengungan doa pemazmur di atas,
seperti halnya isi khotbah Pendeta Robin, hanya mengingatkan saya, tentunya agar
bernaung pada kuasa ilahi.
Pelajaran nomor 1 dari seorang
tukang pukul kepada anaknya yang mau menghadap Dosen Pembimbing: “banyak-banyaklah
berdoa!”
Pukul 22.30, Kamar 7A Kost Mandala Land,
Depok, Sleman.
No comments:
Post a Comment