January 25, 2015

Biji Mata

Sebelum ini saya tidak pernah menuliskan refleksi (bisakah disebut demikian?) atas khotbah mingguan di gereja. Banyak yang bilang kalau aura gereja memberikan tenaga baru bagi setiap jemaat yang sedang beribadah. Kemungkinan, tulisan ini tak lepas dari “aura” tersebut, yang memang belakangan baru saya rasai sendiri, bukan lagi lewat omongan orang-orang. Mungkin saja bakal anda rasakan apabila berusaha menjiwai waktu ibadah anda, apapun kepercayaan atau agama yang anda hela.

Bacaan pada ibadah hari ini tak bisa dipisahkan dengan khotbah minggu lalu. Kebetulan keduanya disampaikan dalam mimbar identik, HKBP Kota Yogyakarta. Intinya serupa, dunia penuh bala dan manusia yang punya pilihan tapi tak terampil menggunakannya. Pilihan apa?

Pendeta Robinson Rajagukguk dalam khotbahnya minggu lalu, 18 Januari 2015, mengangkat isu nafsu yang membelenggu. Lewat gaya penyampaian yang menohok namun tak jadi menggurui (faktor utama yang menjadikannya sebagai pengkhotbah favorit saya), ia mencontohkan situasi di Kota Korintus pada masa apostolik Rasul Paulus. Disana, jemaat kristen purba dihadapkan pada dua faham hidup yang saling berkebalikan, yakni libertarianisme dan asketisme (hanya Pendeta Robin mungkin yang mampu mengemas khotbah filsafati semacam ini menjadi ngepop dan diterima telinga jemaat kebanyakan).

Paulus gencar mengingatkan jemaat di Korintus untuk tak jatuh pada keduanya. Jika tunduk pada libertarianisme, mereka tak ubahnya para pelaut, pedagang, pemabuk, pemadat, dan pelacur yang kala itu tumpah ruah di kota perdagangan terkemuka itu. Kalau kemudian jadi asketis, para jemaat sama saja dengan orang-orang Yahudi di Korintus, yang pada praktiknya mencibir kelakuan hedonis Korintus dan dengan itu menganggap diri mereka paling suci.

Pilih  yang mana? Simak saja ayat-ayat berikut:
“Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?” (2 Korintus 6:14)
“Apakah hubungan bait Allah dengan berhala? Karena kita adalah bait dari Allah yang hidup menurut firman Allah ini: ‘Aku akan diam bersama-sama dengan mereka dan hidup di tengah-tengah mereka, dan Aku akan menjadi Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat-Ku.” (2 Korintus 6:16)
“Sebab itu: Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu.” (2 Korintus 6:17)

Jelas bukan, apa yang dipinta Paulus kepada umat Kristus di Korintus? Sama saja dengan yang dialami manusia di tahun 2015, masa dimana libertarianisme bukan lagi sekedar virus namun telah mengakar di setiap lini kehidupan. Tantangannya dewasa ini makin runyam, untuk itu tuntunan Tuhan melalui ketiga ayat di atas mestinya jadi pegangan, begitu papar Pendeta Robin.

Nah, khotbah dalam ibadah pukul 17.30 tadi tak salah bila disebut sebagai sekuel edisi 18 Januari 2015. Kali ini adalah tentang pemeliharaan Tuhan kepada manusia. Saat di hadapan kita terbentang aral, Tuhan tak akan membiarkan manusia kepadanya terjejal. Singkatnya begitu.

Tapi kalau stop sampai itu, tak jadi refleksi namanya. Tema di atas terasa mengecap di hati karena situasi yang saya dapati hari-hari belakangan ini memang butuh serum penawarnya. Intinya memang pada wilayah cita-cita, problem utama bagi mahasiswa tingkat akhir di kampus manapun.  

Dalam satu tahun ke depan, hasrat utama saya ialah menjadi reporter bagi Tempo atau Kompas. Untuk menuju ke sana bukan segampang menyibak permukaan air pada kolam lele.  Tentu tak dapat saya melamar pekerjaan jika tak punya ijazah S1. Untuk meraihnya, saya mesti menyelesaikan seluruh mata kuliah di kelas dan satu mata kuliah indefinite sentence yang namanya “Penulisan Hukum” alias “Skripsi”.

Syarat pertama sejauh ini telah saya tuntaskan, tapi yang belakangan garis startnya saja belum sama gapai. Apa yang terpenting? Keseriusan? Ketahanan? Antimalas? Yang menjawab salah satu diantara ketiganya dipastikan mengamini peribahasa “semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak.” Pelajaran Nomor 1 dari seorang pemabuk kepada anaknya yang mau menulis skripsi: “kamu mesti punya judul skripsi.”

Itu yang terpenting, bosku!

Ayat dari Pendeta Monris, Mazmur 17:8, yang isinya “Peliharalah aku seperti biji mata, sembunyikanlah aku dalam naungan sayap-Mu”, langsung bersirobok di dalam otak dan perasaan saya. Pukul 8 pagi esok hari saya telah membikin janji untuk bertatap muka dengan Bu Any Anjarwati, si ketua bagian Hukum Agraria, dengan agenda membahas tema yang bakal saya jadikan judul penulisan hukum kelak. Kemungkinannya hanya dua: tema saya diteken atau disuruh mencari bahasan yang lain (baca: permasalahan yang bagi dosen lebih memiliki kompleksitas yuridis). Ayat tersebut bukan saya gunakan untuk jimat, apalagi mantra penolak tercapainya kemungkinan yang kedua. Dengungan doa pemazmur di atas, seperti halnya isi khotbah Pendeta Robin, hanya mengingatkan saya, tentunya agar bernaung pada kuasa ilahi.

Pelajaran nomor 1 dari seorang tukang pukul kepada anaknya yang mau menghadap Dosen Pembimbing: “banyak-banyaklah berdoa!”

Pukul 22.30, Kamar 7A Kost Mandala Land, Depok, Sleman.           

No comments:

Post a Comment