October 31, 2014

Surman Menggali Harapan

Deru geram dalam hatinya yang telah bercokol terhitung sejak bos menyuruhnya untuk mengetik ulang laporan bulanan penerimaan perusahaan telah membuat Surman gerah. Bisakah ia tidak sebentar-sebentar nyusruk kemari dan memintaku melakukan ini-itu seperti aku cuma mesin saja, atasan berkumis yang keleknya suka menyebarkan aroma kunyit itu? Begitu pertanyaan yang Surman lontarkan kepada dirinya sendiri untuk dijawab. Pertanyaan yang sama dan sering sekali muncul sampai-sampai dirinya lupa dimana terakhir ia meletakkan semua harapannya tentang masa depan.
Lulus dari salah satu sekolah hukum terkemuka di negeri tidak lantas membuat Surman jatuh hati kepada dunia hukum. Katanya, seperti yang ia ceritakan kepada kawannya Prontol yang baru saja lulus tes advokat, dunia hukum itu terlalu mudah diplintir-plintir dan mudah pula menaruhnya kembali kepada timbangan yang sewajarnya. Atau dalam pengkalimatan yang sedikit berbeda, seperti yang dikeluhkannya kepada Rojak yang bulan depan akan mempertahankan tesis di Groningen untuk studi Comparative Law, fungsi restitutio in integrum dari norma hukum itu gampang banget untuk dibikin. Tetapi gampang juga luluh karena angin-angin busuk bernama jaksa pecundang dan hakim-hakim teledor yang tidak lebih baik dari seorang tukang daging di los Senen.
Sebenarnya bukan salah Surman juga kenapa bisa ia jadi dedel kepada takdirnya. Pada tahun ketiga di sekolah hukum, Surman baru mengetahui bahwa ia tidak dilahirkan dan diciptakan untuk menjadi seorang juris, tetapi sebagai seorang artis.  Artisnya bukan seperti artis-artis yang suka diwartakan kawin-cerai atau baru saja mengeluarkan singgel murahan demi mewujudkan impian untuk “meramaikan dunia musik Indonesia”. Tak tanggung-tanggung, ia kepingin jadi artis film porno!
Kalau jejaka-jejaka lain seusia sudah menyentuh be’ep sejak masih di sekolah dasar, Surman baru kenal Maria Ozawa di semester enam ketika kuliah. Baginya tak penting siapa manusia yang membawanya kepada film-film porno. Ia bahkan sudah lupa entah ada yang pernah mengajaknya menonton film porno ataukah dirinya sendiri yang memang terkukung dalam rasa penasaran akan film porno. Hal terpenting baginya adalah menonton film porno telah membukakan pandangannya lebar-lebar.
Suatu kala pada kelas pengantar ilmu hukum, Surman dijejali anekdot dari dosennya, yang sekarang hanya bisa dilihat namanya saja melalui sampul buku pengantar yang berjejal di perpustakaan kampus.
“Apa hebatnya sarjana hukum ketimbang dokter gigi?”
Tak ada yang membalas karena memang para mahasiswa tingkat pertama masih pada goblok. Badannya saja yang ada di kelas, tetapi jiwa dan otaknya masih menempel di tongkrongan sekolahan.
Pak dosen (alm.) kemudian menjawab sendiri pertanyaannya, “Kalau dokter gigi baru bisa dapat uang dari mulut orang lain, kita-kita sarjana hukum bisa cari uang pakai mulut sendiri!”
Kalau tak salah tawa pertama yang terdengar adalah dari bapak yang sudah anumerta itu, baru disusul kemeriahan dari para mahasiswa yang setelah mendengar guyonan tersebut baru sadar kalau mereka sekarang ada di sekolah hukum, bukan sekedar sekolahan.
Namun bagi Surman, dua tahun berselang sejak diketahuinya lelucon tersebut, berarti pada masa-masa perkenalannya dengan film porno, terkuaklah bahwa masa depannya adalah gabungan dari falsafah kerja seorang dokter gigi dan sarjana hukum. Dengan menjadi artis film porno ia akan bekerja menggunakan mulutnya sekaligus juga dari mulut orang lain dalam waktu yang bersamaan. Atau tergantung bagaimana arahan yang diberikan sang sineas atau entah apapun istilahnya.
Kalau teringat kepada ayahnya, kadang godaan untuk menjadi artis film porno terbelok sesaat. Bongkinang alias ayah Surman adalah seorang penjaja buku-buku inorisinal di pasar barang bekas. Karena gawenya memang soal buku, tanpa peduli dari setiap buku di lapaknya yang terjual sudah melenyapkan harapan sang penulis untuk meraih royalti, otak Bongkinang lama-kelamaan penuh dengan pengetahuan-pengetahuan meski sepotong-sepotong.
Nah, dari hasil baca-baca itulah, suatu hari, sebagaimana diingat Surman sebagai hari pemberangkatannya dari kampung halaman menuju kota dimana sebuah sekolah hukum terkemuka akan ditujunya, suatu pesan disampaikan Bongkinang kepadanya. Dengan suara yang tidak terlalu pelan namun lugas.
“Surman, lulus jadi sarjana hukum nanti kau harus jadi Sekjen PBB.”
“Iya, yah.”
“Terus kau tak tanya kenapa ayah maunya begitu?”
“Kenapa ayah maunya begitu?”
“Kamu harus jadi Sekjen PBB biar ngekor jejaknya Boutros-Boutros Ghali. Mukanya tidak terlampau ganteng tetapi tetap bisa jadi orang hebat begitu. Kau juga nanti bisa, lah!”
Pengetahuan umum dari RPUL palsu di lapaknya telah mengisap otak ayahku menjadi sedemikian palsu, pikir Surman saat itu.
“Ayah, saya lebih ganteng dari Boutros-Boutros Ghali, dan itu berarti saya bisa jadi seorang Sekjen PBB bahkan lebih dari seorang Sekjen PBB”, jawab Surman kepada Bongkinang, dilanjutkan dengan sebuah pelukan terakhir karena kereta ekonomi malam sudah siap membawanya hilang dari tangkapan mata sang ayah.

Lalu datanglah lima tahun kemudian. Manusia memang miskin di hadapan waktu, yang datang cepat-cepat dan tanpa kasihan pada harapan. Surman tak pernah dan memang tak pernah mau jadi Boutros-Boutros Ghali. Malah harapannya sendiri yang mesti ia gali.   

No comments:

Post a Comment