Deru geram dalam hatinya
yang telah bercokol terhitung sejak bos menyuruhnya untuk mengetik ulang
laporan bulanan penerimaan perusahaan telah membuat Surman gerah. Bisakah ia
tidak sebentar-sebentar nyusruk
kemari dan memintaku melakukan ini-itu seperti aku cuma mesin saja, atasan
berkumis yang keleknya suka
menyebarkan aroma kunyit itu? Begitu pertanyaan yang Surman lontarkan kepada
dirinya sendiri untuk dijawab. Pertanyaan yang sama dan sering sekali muncul
sampai-sampai dirinya lupa dimana terakhir ia meletakkan semua harapannya tentang
masa depan.
Lulus dari salah satu
sekolah hukum terkemuka di negeri tidak lantas membuat Surman jatuh hati kepada
dunia hukum. Katanya, seperti yang ia ceritakan kepada kawannya Prontol yang
baru saja lulus tes advokat, dunia hukum itu terlalu mudah diplintir-plintir
dan mudah pula menaruhnya kembali kepada timbangan yang sewajarnya. Atau dalam
pengkalimatan yang sedikit berbeda, seperti yang dikeluhkannya kepada Rojak
yang bulan depan akan mempertahankan tesis di Groningen untuk studi Comparative Law, fungsi restitutio in integrum dari norma hukum
itu gampang banget untuk dibikin. Tetapi
gampang juga luluh karena angin-angin busuk bernama jaksa pecundang dan
hakim-hakim teledor yang tidak lebih baik dari seorang tukang daging di los
Senen.
Sebenarnya bukan salah
Surman juga kenapa bisa ia jadi dedel kepada takdirnya. Pada tahun ketiga di
sekolah hukum, Surman baru mengetahui bahwa ia tidak dilahirkan dan diciptakan
untuk menjadi seorang juris, tetapi sebagai seorang artis. Artisnya bukan seperti artis-artis yang suka
diwartakan kawin-cerai atau baru saja mengeluarkan singgel murahan demi
mewujudkan impian untuk “meramaikan dunia musik Indonesia”. Tak
tanggung-tanggung, ia kepingin jadi artis film porno!
Kalau jejaka-jejaka lain
seusia sudah menyentuh be’ep sejak
masih di sekolah dasar, Surman baru kenal Maria Ozawa di semester enam ketika
kuliah. Baginya tak penting siapa manusia yang membawanya kepada film-film
porno. Ia bahkan sudah lupa entah ada yang pernah mengajaknya menonton film
porno ataukah dirinya sendiri yang memang terkukung dalam rasa penasaran akan
film porno. Hal terpenting baginya adalah menonton film porno telah membukakan
pandangannya lebar-lebar.
Suatu kala pada kelas
pengantar ilmu hukum, Surman dijejali anekdot dari dosennya, yang sekarang
hanya bisa dilihat namanya saja melalui sampul buku pengantar yang berjejal di
perpustakaan kampus.
“Apa hebatnya sarjana
hukum ketimbang dokter gigi?”
Tak ada yang membalas
karena memang para mahasiswa tingkat pertama masih pada goblok. Badannya saja
yang ada di kelas, tetapi jiwa dan otaknya masih menempel di tongkrongan
sekolahan.
Pak dosen (alm.) kemudian
menjawab sendiri pertanyaannya, “Kalau dokter gigi baru bisa dapat uang dari
mulut orang lain, kita-kita sarjana hukum bisa cari uang pakai mulut sendiri!”
Kalau tak salah tawa
pertama yang terdengar adalah dari bapak yang sudah anumerta itu, baru disusul
kemeriahan dari para mahasiswa yang setelah mendengar guyonan tersebut baru
sadar kalau mereka sekarang ada di sekolah hukum, bukan sekedar sekolahan.
Namun bagi Surman, dua
tahun berselang sejak diketahuinya lelucon tersebut, berarti pada masa-masa
perkenalannya dengan film porno, terkuaklah bahwa masa depannya adalah gabungan
dari falsafah kerja seorang dokter gigi dan sarjana hukum. Dengan menjadi artis
film porno ia akan bekerja menggunakan mulutnya sekaligus juga dari mulut orang
lain dalam waktu yang bersamaan. Atau tergantung bagaimana arahan yang
diberikan sang sineas atau entah apapun istilahnya.
Kalau teringat kepada
ayahnya, kadang godaan untuk menjadi artis film porno terbelok sesaat.
Bongkinang alias ayah Surman adalah seorang penjaja buku-buku inorisinal di
pasar barang bekas. Karena gawenya memang soal buku, tanpa peduli dari setiap
buku di lapaknya yang terjual sudah melenyapkan harapan sang penulis untuk
meraih royalti, otak Bongkinang lama-kelamaan penuh dengan
pengetahuan-pengetahuan meski sepotong-sepotong.
Nah, dari hasil baca-baca
itulah, suatu hari, sebagaimana diingat Surman sebagai hari pemberangkatannya
dari kampung halaman menuju kota dimana sebuah sekolah hukum terkemuka akan ditujunya,
suatu pesan disampaikan Bongkinang kepadanya. Dengan suara yang tidak terlalu
pelan namun lugas.
“Surman, lulus jadi
sarjana hukum nanti kau harus jadi Sekjen PBB.”
“Iya, yah.”
“Terus kau tak tanya
kenapa ayah maunya begitu?”
“Kenapa ayah maunya
begitu?”
“Kamu harus jadi Sekjen
PBB biar ngekor jejaknya Boutros-Boutros Ghali. Mukanya tidak terlampau ganteng
tetapi tetap bisa jadi orang hebat begitu. Kau juga nanti bisa, lah!”
Pengetahuan umum dari RPUL
palsu di lapaknya telah mengisap otak ayahku menjadi sedemikian palsu, pikir
Surman saat itu.
“Ayah, saya lebih ganteng
dari Boutros-Boutros Ghali, dan itu berarti saya bisa jadi seorang Sekjen PBB
bahkan lebih dari seorang Sekjen PBB”, jawab Surman kepada Bongkinang, dilanjutkan
dengan sebuah pelukan terakhir karena kereta ekonomi malam sudah siap
membawanya hilang dari tangkapan mata sang ayah.
Lalu datanglah lima tahun
kemudian. Manusia memang miskin di hadapan waktu, yang datang cepat-cepat dan
tanpa kasihan pada harapan. Surman tak pernah dan memang tak pernah mau jadi
Boutros-Boutros Ghali. Malah harapannya sendiri yang mesti ia gali.
No comments:
Post a Comment