September 12, 2014

Cerita hari ini, dari Mini Reuni sampai Ajip Rosidi



Siapa bilang menempuh 24 sks dalam 1 semester akan membuatmu terdidis oleh rutinitas?

Sejauh yang saya rasakan sampai hari ini, angka 24 di atas seperti tidak terasa. Delapan mata kuliah yang saya ambil di semester ketujuh ini tidak lekas menghilangkan waktu luang yang selama ini harganya amat mahal. Hanya di hari Senin, Selasa, dan Kamis, yang jam kuliahnya cukup padat. 

Di hari Senin hanya 3 kali masuk kelas, masing-masing untuk kelas Hukum Islam (mengulang), Pengantar Hukum Indonesia (hmm.. mengulang), dan sebuah mata kuliah konsentrasi, Hukum Pengadaan Tanah (MENGULANG). Keesokan harinya memang lebih pejal; saya harus menapaki tangga gedung kuliah untuk memandangi dosen bercuap-cuap di mata kuliah Hukum Pidana Internasional, Teknik Penyusunan Kontrak (mengulang), Pengantar Hukum Indonesia, dan  PLKH Peradilan Perdata (pada jam 19.00 WIB!). 

Hari Kamis juga senada. Hanya untuk mata kuliah Hukum dan Teknologi (ya... mengulang), Hukum Perdata Internasional (mengulang!) dan sebuah mata kuliah konsentrasi, Pengurusan Hak atas Tanah (sejauh ini dosennya selalu mangkir tanpa titip absen), saya datang ke Gedung IV FH UGM yang belakangan ini seret untuk urusan air di toiletnya itu. Sisanya, Rabu, Jumat, Sabtu, dan Minggu, adalah waktunya memanjakan pantat di kasur atau mencari kesenangan lain di luar keruhnya ruang kuliah. Adanya kuliah PLKH Perdata di hari Sabtu pukul 9 pagi menurut saya hanya sebagai pengingat bahwa di akhir pekan otakpun harus tetap beroperasi.

Selain perihal klasik bernama kuliah, tentu organisasi tidak dedel dari perhatian saya. Mahkamah tetap menjadi hal pertama yang muncul di kepala setiap pagi ketika bangun tidur. Di samping itu, mulai semester ini saya berkaul untuk muncul lagi di sekre Unit Selam UGM alias unyil. 

Ada perasaan bersalah karena semenjak dilantik menjadi anggota dengan nama laut "Ember Parrotfish" (GADISO/BI/XXII/337) pada tahun 2012, kontribusi nyata saya untuk unyil bisa dikatakan berhenti sampai awal tahun 2013. Bukan tanpa alasan, selain karena dipercaya menjabat sebagai Kepala Divisi Litbang Mahkamah ketika itu, padatnya kuliah seakan-akan menghentikan hasrat untuk kembali bercengkrama dengan BCD, fins, snorkel, masker, kompresor, dan rutinitas latihan kolam yang terbukti efektif membuang kalori tersebut. 

Di semester V, niat untuk "pulang" ke Gelanggang UGM kembali urung terlaksana, karena adanya kesempatan bekerja paruh waktu menjadi koki di At the Table, restoran milik dua senior saya di kampus. Singkatnya, fase kehidupan saya selama semester V adalah masa paling lejar dalam hidup, yang tahun ini mencapai usianya (akhirnya) yang keduapuluh. Kuliah plus Kalitbang di Mahkamah plus At the Table adalah formula yang membuat jiwa dan raga saya terhuyung-huyung. 

Malah pada bulan November 2013, keseharian yang begitu membebat (ditambah pola hidup yang jauh dari kata sehat) meng-KO mutlak tubuh saya, hingga harus beristirahat total dari rutinitas selama seminggu akibat terserang gastritis pada lambung. Itulah yang membuat unyil saat itu seperti lepas dari tangan. Lagi-lagi, terpaksa saya harus hilang dari peredaran gelanggang yang pada masa semester I-II menjadi rumah kedua bagi saya itu.

Namun semester ini berkata lain. Menipisnya waktu kuliah memberikan saya kesempatan untuk membayar hutang saya kepada unyil. Pikir saya, jangan sampai saya melakukan wanprestasi kepada unyil, keluarga pertama yang saya dapatkan selama hidup di Yogyakarta. Malam ini, langkah pertama untuk kembali nongol di unyil sudah terlaksana: setelah sekian lama akhirnya saya muncul lagi di forum rapat, kali ini membahas rencana pelaksanaan Open Recruitment untuk angkatan unyil yang keduapuluh lima. Kebetulan tahun ini yang bertanggungjawab sebagai ketua pelaksana adalah Annisa (Filsafat 2010), salah satu bagian dari keluarga Diklat XXII, diklat yang saya cintai dan sayangi.

Tidak perlu minta izin untuk berpromosi, bukan?

Jadilah malam tadi menjadi semacam mini reuni, karena bersua kembali dengan para sahabat, BCD, snorkel, masker, fins, dan pastinya dengan Scuba Holic. Apa gerangan Scuba Holic itu? Scuba Holic, yang akrab disapa SH, adalah majalah dwitahunan milik Unit Selam UGM, dimana tahun lalu saya dipercaya menjadi Pemimpin Redaksi. 

Kesibukan di luar unyil di tahun 2013 silam tidak membuat saya lupa akan tanggung jawab yang diberikan kala itu untuk menjadi Pimred SH. Di sela-sela padatnya aktivitas, saya selalu menyempatkan diri untuk menggubah SH bersama kawan-kawan unyil lainnya, meskipun tidak selalu dengan tatap muka langsung sebagaimana yang saya kerjakan di Mahkamah. Syukur-syukur ketika itu bisa sesuai target: terbit dua edisi dalam setahun.

***
Perpustakaan UGM (Perpus Pusat) selalu menjadi magnet bagi saya. Dengan banyaknya waktu luang yang tersedia saat ini, melimpah pula waktu yang tersedia bagi saya untuk mengunjunginya. Sebelum menunjukkan muka di unyil, petangnya saya memutuskan untuk menghabiskan waktu disana, dengan tujuan utama adalah membaca buku EYD karangan JS Badudu yang tersimpan di Hatta Corner, ruang kesukaan saya di Perpus Pusat.

Sayang, bak kesebelasan Jerman yang tidak lolos ke Piala Eropa tahun 2000, peruntungan saya pupus petang itu. Hatta Corner sudah menutup diri dari lalu-lalang pengunjung Perpus Pusat. Baru saya perhatikan melalui tulisan di pintu ruangannya, bahwa jam operasional Hatta Corner berhenti pada pukul 4 sore. Saya sendiri tiba disana sekitar pukul 16.20 WIB.

Dilanda ganar, saya akhirnya turun ke lantai dasar, mencari buku apa saja untuk dibaca. Berkeliling dari satu rak ke rak yang lain sungguh membikin lupa daratan, seperti saya ketika kecil (sebenarnya hingga detik ini) yang sumringah melihat etalase-etalase bila diajak mama ke supermarket. Kemudian mata saya tertuju kepada sebuah buku antologi puisi karangan Ajip Rosidi berjudul "Terkenang Topeng Cirebon". 

Biasa membaca Sapardi, jujur sebelumnya saya kurang familiar dengan buah karya Ajip. Banyak puisi ciptaan Ajip yang ternyata begitu jujur melukiskan hubungan penulis dengan tuhannya. Tak salah memang jika A Teeuw dalam kata pengantar di buku yang sama, mengatakan Ajip Rosidi adalah seorang penyair yang perenung, pengaku, dan perawi. Puisi-puisi seperti "Lagu Jakarta", "Piknik", "Dalam Tahanan" (yang bak cermin untuk melihat kondisi penegakan hukum di negeri ini), dan "Tiada yang Lebih Aman" begitu gamblang melukiskan persona Ajip sebagai tiga hal tersebut.     

Seperti "Pintu"-nya Sapardi, ada satu puisi yang menjadi kesukaan saya dalam "Terkenang Topeng Cirebon", judulnya "Pantai Scheveningen".

PANTAI SCHEVENINGEN
(dikutip seluruhnya dari "Terkenang Topeng Cirebon")

Langit dan laut
bicara dalam diam

Kapal dan ombak
bicara dalam diam

Pantai dan darat
bicara dalam diam

Angin dan bukit
bicara dalam diam

Kerang dan siput
bicara dalam diam

Keheningan penuh makna
adalah kita
yang bicara dalam diam



Yogyakarta, 1.13 WIB, 12 September 2014,
Segelas teh peppermint dan sealbum "Bleach" milik Nirvana.

sumber gambar "Terkenang Topeng Cirebon": jualbukubekassurabaya.blogspot.com, 

2 comments:

  1. Halo bang saya baru baca beberapa tulisannya :D Tulisan2nya keren deh bang. Saya suka diksi abang. Terus menulis bang! Oiya, kalau ada waktu, boleh mampir bang di blog saya. Saya ada beberapa puisi disitu. Tapi masih amatiran sih hehe.. blog saya audinadisty.tumblr.com . . sukses terus ya bang!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih deh kalo begitu hahaha :) maaf baru balas karena lama tidak main ke blogger. buat saya sih yang namanya tulis (apalagi puisi) nggak ada titel "amatiran". isi tulisan kan tergantung perasaan, masalah enak dibaca atau nggak, akhirnya tergantung pembaca.. sukses juga buat kamu!

      Delete