September 10, 2014

Bukan Lautan, Bukan Kolam Susu, Hanya tentang Pelaut yang Gagah Berani (Bagian Kesatu)



“Biasanya, dari jam tiga petang kami baru pulang pagi besoknya.”
Pagi itu, Anto Siregar tampak tegap menatap ke arah laut lepas. Sebuah kepuasan yang mantap begitu menderas terlihat dari air mukanya. “Tiga tahun sudah saya menetap disini bersama istri dan kedua anak saya”, ujar pria paruh baya asli Tanah Batak tersebut. Sebelumnya, Bang Anto, begitu aku menyapanya, mencari peruntungan di daerah Tanjung Balai, Karimun, Kepulauan Riau. Aku tak menanyakan alasan apa yang membawanya jauh hingga ke Natuna untuk menggamit penghidupan. Yang jelas, peluh yang perlahan pupus dari tubuhnya mengisyaratkan sebuah jawaban: dimana ada ikan liar berkejaran, disitu aku ada, disitu uang terkumpul, dan aku serta keluargaku bisa makan dan membeli barang sehelai pakaian.
Tak jauh dari tempatnya berdiri, puluhan orang berkumpul mengerubungi bagian belakang kapal yang tertambat di dermaga. Dermaga Tanjung, tempat kapal Bang Anto berlabuh setiap pagi, memang menjadi pasar bagi penduduk Desa Tanjung untuk membeli ikan, juga bagi para pedagang yang membeli ikan untuk dijual kembali di Ranai, ibukota Kabupaten Natuna. Bagi desa pesisir seperti Desa Tanjung, ikan bagaikan cinta yang tak terhindarkan. Datangnya tak dapat ditangkis, mau tak mau harus diterima sebagai sebuah bentuk ikatan yang tak akan mungkin lepas. Kalau tak makan ikan, lalu sehari-hari mau makan apalagi? Kalau tak membeli di Dermaga Tanjung, lalu mau beli dimana?
Selain sebagai tempat si pembeli memperoleh barang dari orang kesatu, yakni si nelayan, keramaian yang tercipta di Desa Tanjung tersebut sekaligus menciptakan sebuah ruang interaksi. Ruang yang menjadikan si A, si B, dan “si” yang lain saling bercengkrama, entah sekedar menanyakan kabar atau membicarakan kejadian-kejadian lucu yang terjadi di hari yang lalu.
Tak ada stratifikasi yang menyembul dalam interaksi tersebut. Mereka, yang jelas, disatukan oleh sebuah tautan bernama cinta yang tak terhindarkan. Cinta yang aneh memang, jika kemudian dihubungkan dengan pertalian yang tercipta dalam “cinta” tersebut: pertalian antara predator dengan mangsanya. Sebuah pertalian yang sudah ada sejak lampau, sebagaimana memang dititahkan oleh sang Pencipta kepada manusia untuk menikmati segala ciptaanNya sebagai bekal menyambung hidup.

***

“Sekarang ini sedang angin selatan. Kalau mau ikut melaut bahaya.”
Bang Anto dan dua orang kawannya, seorang awak kapal dan nahkoda yang memiliki kapal, memutuskan untuk tidak melaut hari itu. Ujarnya, Laut Natuna sedang gamang, jika badai datang menghempas dapat sewaktu-waktu melenyapkan asa yang mengiringi lajunya kapal. Tidak hanya asa tiga orang awak kapal tersebut, di dalamnya ada harapan penduduk Desa Tanjung yang menggantungkan kebutuhannya pada hasil tangkapan tiga orang pendekar lautan tersebut. Pupus sudah niatku untuk sekali saja mengekor perjalanan mereka mengarungi lautan. Bagaimana tidak, mereka yang nafasnya menyatu dengan air laut saja sudah menyerah, apalagi aku yang sekalipun belum pernah menjala ikan dan menjadi harapan banyak orang?

***

Lain Bang Anto, lain pula Ais. Anak berusia tujuh tahun tersebut seakan menjadi dikotomi dari keraguan yang membubung dari dahi Bang Anto dan kawan-kawan. Ais, siswa kelas 1 SD asli Desa Tanjung, berhasil menangkap dua ekor kerapu berukuran setengah lengan orang dewasa, hanya dengan kail berupa benang sederhana yang dikemas layaknya gulungan sebuah layang-layang! Peristiwa tersebut langsung terendus banyak orang yang berada di Dermaga Tanjung. Tetapi dari sekian orang yang menyaksikan kehebatan Ais itu, hanya seorang saja yang tertawa paling nyaring: si pembeli. Kedua ikan tersebut dibeli oleh seorang pedagang ikan hanya dengan banderol Rp. 10.000,00 perekor saja!

Ketika kutanyakan kepada Rinto, seorang kawan asal Jurusan Perikanan yang saat itu bersamaku di Dermaga Tanjung, tangkapan Ais tersebut biasanya dijual dengan harga Rp. 50.000,00 setiap ekornya. Dua puluh ribu rupiah bagi anak seumur Ais tentu bukan barang yang sedikit. Dengan uang sejumlah itu, Ais yang jelas telah mencapai titik kepuasan yang tidak bisa dimaknai orang lain selain dirinya. Bahkan oleh si pembeli yang mungkin tidak akan bisa mendapat privilese mendapatkan ikan semurah itu di tempat dan kesempatan lain dalam hidupnya.

***

“Ombak boleh saja besar, angin bisa saja kencang, tetapi harapan akan terus ada.”
Berharap memang tidak pernah salah. Setelah sekitar seminggu dikatungkan oleh asa, akhirnya niatan untuk ikut melaut kesampaian juga. Melalui Rinto yang memang memiliki program KKN terkait usaha penangkapan ikan, Bang Anto memperbolehkan kami dari Regu KKN PPM UGM KPR 01, mengikuti perjalanan rutinnya menangkap ikan. Seluruh anggota regu? Tentu tidak, mengingat ukuran kapalnya yang tidak terlalu besar dan memiliki kapasitas personal yang terbatas. Malah lebih cocok kalau kapalnya dipanggil pompong, kata yang digunakan oleh penduduk Natuna untuk menyebut kapal kecil berbahan kayu. Kemudian diputuskanlah mereka yang akan berangkat dalam fishing trip tersebut: Rinto, aku, dan Dino, mahasiswa Sosiologi yang juga bagian dari kelompokku. 
Dari kiri ke kanan: Rinto, aku, dan Dino. Tak terbayangkan
jika wajah-wajah gembira ini justru akan "menderita" oleh
serangan mabuk laut.
  
***

Hari itu, Rabu, 6 Agustus, bisa dibilang menjadi idaman setiap orang yang mencintai pancaran sinar matahari di tepi pantai. Cuaca cukup cerah, awan yang berkejaran pelan di langit terlihat padu dengan air laut Dermaga Tanjung yang tidak terlihat gamang. Awal yang baik untuk sebuah perjalanan penuh tantangan dan harapan, begitu pikirku.
Pukul 3 sore, seperti yang pernah dikatakan Bang Anto kepadaku sebagai waktu keberangkatannya melaut, kami bertiga tiba di Dermaga. Suasana begitu sepi, keramaian yang biasa terlihat di pagi hari tidak menyisa sedikitpun disana. Pompong Bang Anto tertambat sendirian di tautan ujung dermaga, seperti mengisyaratkan bahwa ia sudap siap untuk digalakkan menuju laut lepas. 
Setengah jam berlalu dari pukul tiga, Bang Anto dan kawan-kawannya tak kunjung menampakkan diri. Rasa gelisah mulai menyembul di antara kami, dengan satu pertanyaan yang kami risaukan bersama: apakah hari ini Bang Anto tidak melaut? Langit memang cerah, namun pelaut berpengalaman seperti bang Anto mungkin berpikiran berbeda. Bisa saja Bang Anto dan kawan-kawan tidak melihat langit Tanjung yang membiru sebagai pertanda kelancaran sebuah perjalanan melaut. Merekalah, berdasarkan pengalamannya, yang mengetahui pertanda hujan akan turun ataupun angin kencang akan melenyapkan pompong sewaktu-waktu ke dalam lautan. Sekali saja nekat, maut tentunya yang akan melekat. (bersambung)




   

No comments:

Post a Comment