“Biasanya, dari
jam tiga petang kami baru pulang pagi besoknya.”
Pagi itu, Anto Siregar tampak tegap menatap ke arah
laut lepas. Sebuah kepuasan yang mantap begitu menderas terlihat dari air
mukanya. “Tiga tahun sudah saya menetap disini bersama istri dan kedua anak
saya”, ujar pria paruh baya asli Tanah Batak tersebut. Sebelumnya, Bang Anto,
begitu aku menyapanya, mencari peruntungan di daerah Tanjung Balai, Karimun,
Kepulauan Riau. Aku tak menanyakan alasan apa yang membawanya jauh hingga ke
Natuna untuk menggamit penghidupan. Yang jelas, peluh yang perlahan pupus dari
tubuhnya mengisyaratkan sebuah jawaban: dimana ada ikan liar berkejaran, disitu
aku ada, disitu uang terkumpul, dan aku serta keluargaku bisa makan dan membeli
barang sehelai pakaian.
Tak jauh dari tempatnya berdiri, puluhan orang berkumpul
mengerubungi bagian belakang kapal yang tertambat di dermaga. Dermaga Tanjung,
tempat kapal Bang Anto berlabuh setiap pagi, memang menjadi pasar bagi penduduk
Desa Tanjung untuk membeli ikan, juga bagi para pedagang yang membeli ikan untuk
dijual kembali di Ranai, ibukota Kabupaten Natuna. Bagi desa pesisir seperti
Desa Tanjung, ikan bagaikan cinta yang tak terhindarkan. Datangnya tak dapat
ditangkis, mau tak mau harus diterima sebagai sebuah bentuk ikatan yang tak
akan mungkin lepas. Kalau tak makan ikan, lalu sehari-hari mau makan apalagi? Kalau
tak membeli di Dermaga Tanjung, lalu mau beli dimana?
Selain sebagai tempat si pembeli memperoleh barang
dari orang kesatu, yakni si nelayan, keramaian yang tercipta di Desa Tanjung
tersebut sekaligus menciptakan sebuah ruang interaksi. Ruang yang menjadikan si
A, si B, dan “si” yang lain saling bercengkrama, entah sekedar menanyakan kabar
atau membicarakan kejadian-kejadian lucu yang terjadi di hari yang lalu.
Tak ada stratifikasi yang menyembul dalam interaksi
tersebut. Mereka, yang jelas, disatukan oleh sebuah tautan bernama cinta yang
tak terhindarkan. Cinta yang aneh memang, jika kemudian dihubungkan dengan
pertalian yang tercipta dalam “cinta” tersebut: pertalian antara predator
dengan mangsanya. Sebuah pertalian yang sudah ada sejak lampau, sebagaimana
memang dititahkan oleh sang Pencipta kepada manusia untuk menikmati segala
ciptaanNya sebagai bekal menyambung hidup.
“Sekarang ini
sedang angin selatan. Kalau mau ikut melaut bahaya.”
Bang Anto dan dua orang kawannya, seorang awak
kapal dan nahkoda yang memiliki kapal, memutuskan untuk tidak melaut hari itu. Ujarnya,
Laut Natuna sedang gamang, jika badai datang menghempas dapat sewaktu-waktu
melenyapkan asa yang mengiringi lajunya kapal. Tidak hanya asa tiga orang awak
kapal tersebut, di dalamnya ada harapan penduduk Desa Tanjung yang
menggantungkan kebutuhannya pada hasil tangkapan tiga orang pendekar lautan
tersebut. Pupus sudah niatku untuk sekali saja mengekor perjalanan mereka
mengarungi lautan. Bagaimana tidak, mereka yang nafasnya menyatu dengan air
laut saja sudah menyerah, apalagi aku yang sekalipun belum pernah menjala ikan
dan menjadi harapan banyak orang?
Lain Bang Anto, lain pula Ais. Anak berusia tujuh
tahun tersebut seakan menjadi dikotomi dari keraguan yang membubung dari dahi
Bang Anto dan kawan-kawan. Ais, siswa kelas 1 SD asli Desa Tanjung, berhasil
menangkap dua ekor kerapu berukuran setengah lengan orang dewasa, hanya dengan
kail berupa benang sederhana yang dikemas layaknya gulungan sebuah
layang-layang! Peristiwa tersebut langsung terendus banyak orang yang berada di
Dermaga Tanjung. Tetapi dari sekian orang yang menyaksikan kehebatan Ais itu,
hanya seorang saja yang tertawa paling nyaring: si pembeli. Kedua ikan tersebut
dibeli oleh seorang pedagang ikan hanya dengan banderol Rp. 10.000,00 perekor
saja!
Ketika kutanyakan kepada Rinto, seorang kawan asal Jurusan
Perikanan yang saat itu bersamaku di Dermaga Tanjung, tangkapan Ais tersebut
biasanya dijual dengan harga Rp. 50.000,00 setiap ekornya. Dua puluh ribu
rupiah bagi anak seumur Ais tentu bukan barang yang sedikit. Dengan uang
sejumlah itu, Ais yang jelas telah mencapai titik kepuasan yang tidak bisa
dimaknai orang lain selain dirinya. Bahkan oleh si pembeli yang mungkin tidak
akan bisa mendapat privilese mendapatkan ikan semurah itu di tempat dan
kesempatan lain dalam hidupnya.
“Ombak boleh
saja besar, angin bisa saja kencang, tetapi harapan akan terus ada.”
Berharap memang tidak pernah salah. Setelah sekitar
seminggu dikatungkan oleh asa, akhirnya niatan untuk ikut melaut kesampaian
juga. Melalui Rinto yang memang memiliki program KKN terkait usaha
penangkapan ikan, Bang Anto memperbolehkan kami dari Regu KKN PPM UGM KPR 01,
mengikuti perjalanan rutinnya menangkap ikan. Seluruh anggota regu? Tentu
tidak, mengingat ukuran kapalnya yang tidak terlalu besar dan memiliki
kapasitas personal yang terbatas. Malah lebih cocok kalau kapalnya dipanggil pompong, kata yang digunakan oleh
penduduk Natuna untuk menyebut kapal kecil berbahan kayu. Kemudian
diputuskanlah mereka yang akan berangkat dalam fishing trip tersebut: Rinto, aku, dan Dino, mahasiswa Sosiologi
yang juga bagian dari kelompokku.
Dari kiri ke kanan: Rinto, aku, dan Dino. Tak terbayangkan jika wajah-wajah gembira ini justru akan "menderita" oleh serangan mabuk laut. |
***
Hari itu, Rabu, 6 Agustus, bisa dibilang menjadi
idaman setiap orang yang mencintai pancaran sinar matahari di tepi pantai.
Cuaca cukup cerah, awan yang berkejaran pelan di langit terlihat padu dengan
air laut Dermaga Tanjung yang tidak terlihat gamang. Awal yang baik untuk
sebuah perjalanan penuh tantangan dan harapan, begitu pikirku.
Pukul 3 sore, seperti yang pernah dikatakan Bang
Anto kepadaku sebagai waktu keberangkatannya melaut, kami bertiga tiba di
Dermaga. Suasana begitu sepi, keramaian yang biasa terlihat di pagi hari tidak
menyisa sedikitpun disana. Pompong Bang Anto tertambat sendirian di tautan
ujung dermaga, seperti mengisyaratkan bahwa ia sudap siap untuk digalakkan
menuju laut lepas.
Setengah jam berlalu dari pukul tiga, Bang Anto dan
kawan-kawannya tak kunjung menampakkan diri. Rasa gelisah mulai menyembul di
antara kami, dengan satu pertanyaan yang kami risaukan bersama: apakah hari ini
Bang Anto tidak melaut? Langit memang cerah, namun pelaut berpengalaman seperti
bang Anto mungkin berpikiran berbeda. Bisa saja Bang Anto dan kawan-kawan tidak
melihat langit Tanjung yang membiru sebagai pertanda kelancaran sebuah
perjalanan melaut. Merekalah, berdasarkan pengalamannya, yang mengetahui
pertanda hujan akan turun ataupun angin kencang akan melenyapkan pompong
sewaktu-waktu ke dalam lautan. Sekali saja nekat, maut tentunya yang akan
melekat. (bersambung)
No comments:
Post a Comment