Duduk terasa membatu, aliran darah seakan berhenti mengikuti
berhentinya pusaran waktu. Mata berlompatan melihat-lihat lalu-lalang manusia
yang entah mengapa banyak sekali jumlahnya. Segala jenis bentukan Tuhan yang
paling mulia bisa kamu lihat dengan telanjang. Wanita tua yang melepas lelah sembari
mengisap rokok. Anak-anak kecil yang saling berkejaran menyusuri lorong lambung
kapal yang seakan susut karena nafas-nafas menyesak. Lelaki yang duduk di
belakang kapal, memakan bekal yang disimpan dari pelabuhan (karena harga pangan
di kapal yang tak masuk di akal). Para penunggu waktu berbuka puasa yang
memunggungi lautan dan saling berbicara dalam satu bahasa: Rasa Bosan. Serta
manusia-manusia lain yang terempas di atas kapal bukan karena cela.

Kapal Motor Bukit Raya memulai pengelanaannya dari Tanjung
Priuk, Jakarta, untuk selanjutnya menyusuri Laut Jawa hingga ke salah satu pintu
terakhir negeri: Kepulauan Natuna. Kapal ini dibagi dalam tiga kelas, dari
Kelas yang paling menjunjung kemanusiaan (Kelas I), Kelas yang cukup manusiawi
(Kelas II), hingga Kelas yang tidak cukup manusiawi untuk dinaiki (Kelas III).
Salah satu kapal milik PT PELNI ini bisa dibilang kapal jompo, usianya sudah
dua puluh tahun. Jika manusia berumur dua puluh tahun adalah sosok yang siap
menuju usia dewasa, kapal laut yang berusia dua puluh tahun adalah kapal yang
terasa amat lapuk dan menyusahkan.
Selama perjalanan KM Bukit Raya singgah di empat titik, Belinyu,
Kijang, Letung, dan Tarempa, sampai akhirnya melonggarkan jangkar di Pulau
Natuna Besar. Empat hari kemudian, sampai saya menuliskan catatan ini, tubuh
masih terasa seperti di atas kapal. Bergoyang-terempas-terserak seakan masih
ada di dalam dek kumal kapal yang kabarnya tidak akan berlayar kembali setelah lebaran puasa nanti.
Desa Tanjung, Natuna, 20 Juli 2014. Gambar diambil menggunakan ponsel Nokia Lumia 720.
 |
Ratusan karung berisi bahan makanan berupa sayuran, bawang, dan telur, diturunkan dari kapal ketika tiba di pelabuhan Selat Lampa, Natuna. Sebuah ironi, sebagai salah satu kabupaten di Indonesia dengan APBD pertahun tertinggi, penduduk Natuna justru menggantungkan kebutuhan pangannya terhadap muatan yang dibawa oleh KM Bukit Raya ini secara berkala.
|
 |
Di Letung, Kepulauan Anambas, KM Bukit Raya tidak dapat membuang sauh di tepi daratan, akibat dangkalnya perairan di sekitarnya. Hal tersebut disiasati dengan adanya pompong (istilah dalam Bahasa Melayu untuk menyebut kapal kecil berbahan kayu). Calon penumpang asal Letung yang ingin masuk ke dalam kapal terlebih dahulu diangkut dengan menggunakan pompong. Secara perlahan, badan pompong kemudian "menempel" ke lambung kapal, di saat yang bersamaan tangga kapal diturunkan untuk mengangkut mereka. |
 |
Ribuan orang mengantre agar bisa masuk ke dalam kapal, Tarempa, Kepulauan Anambas. Sebagai satu-satunya alat transportasi yang (ketika itu) beroperasi, KM Bukit Raya seakan-akan menjadi primadona mendadak bagi mereka yang bertujuan ke Natuna. |
 |
Di Pelabuhan Tarempa, Kepulauan Anambas, perhentian terakhir sebelum sampai ke Natuna. Massa semakin tidak terkendali, awak kapal bahkan kewalahan; seperti tidak mengantisipasi sebelumnya terkait lonjakan penumpang yang naik dari Tarempa. |
 |
Hiruk-pikuk Pelabuhan Belinyu tidak mengusik kedua nelayan tradisional setempat, karena kalau tidak melaut, mereka tidak dapat uang, tidak bisa makan, apalagi membeli sekedar sandang. |
 |
Pelabuhan Belinyu, Pulau Bangka, perhentian pertama KM Bukit Raya sejak start dari Tanjung Priuk. Kapal yang semula terasa lengang mendadak mulai disesaki oleh manusia.
|
No comments:
Post a Comment