September 10, 2014

Di atas kapal, waktu adalah jalan raya panjang yang kosong dan tanpa keindahan


                                         
Duduk terasa membatu, aliran darah seakan berhenti mengikuti berhentinya pusaran waktu. Mata berlompatan melihat-lihat lalu-lalang manusia yang entah mengapa banyak sekali jumlahnya. Segala jenis bentukan Tuhan yang paling mulia bisa kamu lihat dengan telanjang. Wanita tua yang melepas lelah sembari mengisap rokok. Anak-anak kecil yang saling berkejaran menyusuri lorong lambung kapal yang seakan susut karena nafas-nafas menyesak. Lelaki yang duduk di belakang kapal, memakan bekal yang disimpan dari pelabuhan (karena harga pangan di kapal yang tak masuk di akal). Para penunggu waktu berbuka puasa yang memunggungi lautan dan saling berbicara dalam satu bahasa: Rasa Bosan. Serta manusia-manusia lain yang terempas di atas kapal bukan karena cela.

Kapal Motor Bukit Raya memulai pengelanaannya dari Tanjung Priuk, Jakarta, untuk selanjutnya menyusuri Laut Jawa hingga ke salah satu pintu terakhir negeri: Kepulauan Natuna. Kapal ini dibagi dalam tiga kelas, dari Kelas yang paling menjunjung kemanusiaan (Kelas I), Kelas yang cukup manusiawi (Kelas II), hingga Kelas yang tidak cukup manusiawi untuk dinaiki (Kelas III). Salah satu kapal milik PT PELNI ini bisa dibilang kapal jompo, usianya sudah dua puluh tahun. Jika manusia berumur dua puluh tahun adalah sosok yang siap menuju usia dewasa, kapal laut yang berusia dua puluh tahun adalah kapal yang terasa amat lapuk dan menyusahkan.

Selama perjalanan KM Bukit Raya singgah di empat titik, Belinyu, Kijang, Letung, dan Tarempa, sampai akhirnya melonggarkan jangkar di Pulau Natuna Besar. Empat hari kemudian, sampai saya menuliskan catatan ini, tubuh masih terasa seperti di atas kapal. Bergoyang-terempas-terserak seakan masih ada di dalam dek kumal kapal yang kabarnya tidak akan berlayar kembali setelah lebaran puasa nanti.     

Desa Tanjung, Natuna, 20 Juli 2014. Gambar diambil menggunakan ponsel Nokia Lumia 720.

Ratusan karung berisi bahan makanan berupa sayuran, bawang, dan telur,
diturunkan dari kapal ketika tiba di pelabuhan Selat Lampa, Natuna. Sebuah ironi, sebagai salah satu
kabupaten di Indonesia dengan APBD pertahun tertinggi, penduduk Natuna justru
menggantungkan kebutuhan pangannya terhadap muatan yang dibawa oleh KM Bukit Raya ini secara berkala.
Di Letung, Kepulauan Anambas, KM Bukit Raya tidak dapat membuang sauh di tepi daratan,
akibat dangkalnya perairan di sekitarnya. Hal tersebut disiasati dengan adanya pompong
(istilah dalam Bahasa Melayu untuk menyebut kapal kecil berbahan kayu).
Calon penumpang asal Letung yang ingin masuk ke dalam kapal terlebih dahulu diangkut
dengan menggunakan pompong. Secara perlahan, badan pompong kemudian "menempel"
ke lambung kapal, di saat yang bersamaan tangga kapal diturunkan untuk mengangkut mereka.
Ribuan orang mengantre agar bisa masuk ke dalam kapal,
Tarempa, Kepulauan Anambas. Sebagai satu-satunya alat
transportasi yang (ketika itu) beroperasi, KM Bukit Raya
seakan-akan menjadi primadona mendadak bagi mereka yang
bertujuan ke Natuna.
Di Pelabuhan Tarempa, Kepulauan Anambas, perhentian
terakhir sebelum sampai ke Natuna. Massa semakin tidak
terkendali, awak kapal bahkan kewalahan; seperti tidak
mengantisipasi sebelumnya terkait lonjakan penumpang
yang naik dari Tarempa.
Hiruk-pikuk Pelabuhan Belinyu tidak mengusik kedua
nelayan tradisional setempat, karena kalau tidak melaut,
mereka tidak dapat uang, tidak bisa makan, apalagi
membeli sekedar sandang.
Pelabuhan Belinyu, Pulau Bangka,
perhentian pertama KM Bukit Raya sejak start dari
Tanjung Priuk. Kapal yang semula terasa lengang mendadak
mulai disesaki oleh manusia.





No comments:

Post a Comment