October 31, 2014

Ketika Si Pandir Memilihkan Pemimpin atas Kita

Para tamu terhormat, terkuasa, dan terbahagia, dalam sajian kami malam ini marilah elakkan duka meski sejenak.
Pulangkan semua benci kepada bentala di luar sana. Malam ini kamilah pelecutnya!

Sambut dan sebutlah mereka monyet, tapir, belalang, dan nyamuk. Tetamu sekalian tidak perlu menaruh curiga apalagi nafsu untuk menumpas. Mereka bukan pesakitan apalaig sekedar gadis-gadis yang berlomba-lomba menjadi ratu di depan kaca.

Merekalah amanat! Mereka juga penerima mandat!
Terimalah pemandangan ini meski hadirin harus bergidik pelan di dalam hati. Berikan jalan untuk para pembaru! Segera tarikan gerakan-gerakan riang dalam seremoni penyambutan!
Kalau kami bilang segera, itu artinya hadirin mesti lakukan di jalan-jalan sambil membawa panji-panji negara yang masyur dan terkemuka.

Sebentar, aku mendengar kata jembut disebut.
Suaranya cukup kencang dari sebelah sana, kiranya hadirin berpikir ketika bicara! Kepada pemimpin-pemimpin kita, jika dipanggil demikian, hendaklah terjadi demikian. Tetapi jembut tak bisa bicara, apalagi bernyanyi dan turun ke desa.
Seperti para pemimpin kita yang haruslah diberi jalan lapang demi cita-cita pembangunan!

Musim kering akan disulap menjadi air dimana-mana. Oleh mereka saja!
Masa berkabung karena kelaparan seketika hilang diganti padi yang melimpah ruah. Hanya karena mereka saja!
Apalagi noktah-noktah kecil seperti penyakit menular, pembunuhan antarkeluarga, ataupun perkelaminan di tengah jalan. Mereka saja yang bawa suluhnya!


Lihat. Mereka memakaikan sepatu di atas kepala-kepalanya.

(Dalam perjalanan Yogyakarta-Ubud, 1 Oktober 2014 yang telah lewat)

No comments:

Post a Comment