Akhirnya terlihat jelas perpecahan yang terjadi pada bangsa ini. Lima jam
setelah Tempat Pemungutan Suara (TPS) di seluruh Indonesia resmi ditutup,
masyarakat Indonesia menyaksikan sebuah drama yang gamblang menunjukkan
tingginya hasrat berkuasa dari kedua pasangan peserta Pemilihan Presiden 2014.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Djoko Suyanto, sebagai
representasi pemerintah, sampai harus turun tangan guna menengahi situasi yang
semakin memanas. Saling klaim memenangkan kontes Pilpres tahun ini, yang dilakukan
oleh kedua pasangan calon, begitu saja dipertunjukkan kepada khalayak umum
khususnya melalui televisi. Hal yang pasti, tak akan banyak yang memungkiri
bahwa Pilpres 2014 adalah drama memuakkan dengan media massa dan lembaga survei
sebagai supporting cast-nya. Menariknya,
saling klaim tersebut hanya didasarkan pada hasil hitung cepat semata!
Kalau diperhatikan, pasangan calon nomor 2, Joko Widodo-Jusuf Kalla
(Jokowi-JK), melakukan “proklamasi” kemenangan lebih dulu daripada lawannya
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (Prabowo-Hatta). Hal ini dimungkinkan melihat
kebanyakan hasil hitung cepat lebih mengunggulkan Jokowi-JK ketimbang pasangan
nomor 1. Sampai tulisan ini dibuat (pukul 17.40 WIB), delapan lembaga survei
memang jelas “memenangkan” Jokowi-JK, diantaranya adalah: LKBN Antara bekerjasama dengan RRI
melemparkan hasil bahwa Jokowi-JK unggul 5,3% dari Prabowo-Hatta (52,67%
berbanding 47,33%); Litbang Kompas menunjukkan pasangan Prabowo-Hatta “hanya”
mengeruk 47,66% suara rakyat, dimana Jokowi-JK berhasil meraup sebanyak 52,34%
suara rakyat; sementara Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menunjukkan keunggulan
Jokowi-JK terhadap lawannya yang diusung Koalisi Kebangsaan tersebut dengan
perolehan suara 53,37% banding 46,63%. Bagaimana dengan klaim kemenangan yang
digaungkan pihak nomor urut 1? Empat buah hasil hitung cepat dijadikan
dasar kubu tersebut untuk memposisikan diri sebagai pemenang pemilu, salah satunya hasil survei Indonesia Research Centre (IRC), dimana Prabowo-Hatta mengumpulkan
51,11% suara rakyat, menang tipis dari pasangan “salam dua jari” yang hanya
berhasil memperoleh 48,89% dukungan dari pemilih.
Danny Schechter (2007), dalam bukunya The Death of Media and The Fight to Save Democracy, mengemukakan
bahwa tidak mengherankan ketika acara politik dibuat seperti pertandingan gulat
yang menjurus pada tabrakan ide-ide dan mengesampingkan penyelesaian ataupun
penjelasan masalah. Dengan adanya tabrakan tersebut, masyarakat pengonsumsi
media massalah yang menjadi korban “pertempuran”, yang jika dikaitkan dengan
Pilpres tahun ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan bos-bos pemilik media.
Seakan-akan tidak berlaku lagi fungsi pers, sebagaimana dilontarkan oleh Thomas
Jefferson (1823), yakni sebagai instrumen terbaik untuk mencerdaskan orang,
sekaligus meningkatkan harkatnya sebagai makhluk yang rasional. Boro-boro, deh!
Apabila sampai hari penetapan pemenang Pilpres oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU), tindak-tanduk media massa (khususnya televisi yang
paling mungkin menyampaikan berita secara telanjang dan gamblang) tetap sama
seperti yang terjadi di hari ini, 9 Juli 2014, rasanya masyarakat luas perlu
digerakkan untuk mematikan televisi dan membuang jauh-jauh surat kabar mereka. Berdoa
saja kedua pasangan calon peserta Pilpres tidak saling baku hantam di depan
umum karena tipisnya perbedaan hasil perolehan suara yang mereka dapatkan.
Apalagi kalau yang muncul justru perbincangan tidak perlu antara, katakanlah,
Fadli Zon melawan Anies Baswedan. Kita tentu sudak muak, bukan?
No comments:
Post a Comment