March 2, 2014

puisi kelana (2)

Dalam Bus Tua

Aku ingin segra lepas dari rantai pasungan ini lalu pergi kepada tepian hari dan membawa mimpi hingga ke dalamnya yang paling dalam, ke suramnya yang paling suram.
Atau itulah malam telah berterus terang: bahwa sepekat apapun duka ia akan tetap terlentang?

Berhenti memikirkan kemungkinan bagiku adalah mati yang tiba-tiba mencekal hati ketika merenda kehidupan. Atau bisa saja kusebut sebagai malam yang tak begitu kuat dilalap luka (kedalamanku yang penuh duka).

Karena semua kemungkinan adalah berujung mati nantinya. Tanpa berdegupan kencang seolah kehidupan terus memaksa untuk tetap terjaga mendengan gugusan yang indah2. Meski tanpa suara tapi menjejak dalam telinga.

Barangkali masih kamu menyebutku batu dalam pasir yang basah yang mengerami cahanya lalu tersungkur selagi ada? Aku kembali kepada malam tanpa ada perkataan bahwanasib sudah sedemikian pelan berterusterang........

Tentang keburukan yang lama hinggap merintih.......tanpa lekang!
Dan remah malam yang tercabut ketika.......disekat gamang!
Mereka telah dilalap kemurkaan, nasib itu, meski inginnya terbuai

terbang.


Dalam Damai dan Sepi

Dalam damai dan sepi engkau adalah perumpamaan yang kosong jika didengar. Dalam damai dan sepi engkau begitu ada dalam masa di tengah cawat yang rapi melintang. Dalam damai dan sepi engkau adalah langit, engkau juga air yang kutelan pelan-pelan. Dalam damai dan sepi engkau tak kunjung datang lagi mencucukkan peluh dalam batinku.

Dalam damai dan sepi engkau menjelang ketiadaan, disapihnya air mata lalu cahayamu menghilang.


Jika Saja

Jika dibeginikan saja, dililit dan dihempaskan sampai darahmu membuih dalam pedih, bagaimana?
Jika terbaring saja lalu dipapah meraung-raung jeritanmu mengaduh menelan sunyi, bagaimana?

Jika ini mati dan hidup terjelang sia-sia sampai kapanpun kerinduan tetap milik akhirat, pintu dan malaikatnya.
yakinlah selalu.


Kamu Langit

Langit adalah kata-kata yang tidak pernah selesai. Tentang bintang-bintangnya yang gemar mengerlip meski berjarak dengan tanah. Tentang bulan yang terkesima dengan cahaya yang menggerusnya ketika purnama. Juga tentang kabut pagi, matahari yang juga merintih di balik wajah kelabunya.

Kamu adalah lagu kebahagiaan yang bunyinya pasti. Tentang peluh dari balik persinggungan kita di bawah bintang-bintang. Tentang rapuh yang rikuh yang risau mengaduh di bawah sinaran purnama. Tentang luka yang lekas tersapu ketika kabut terlihat padu dengan matahari.

Bisakah aku menyebutmu yang datang dari langit, pada suatu pagi?


Mahoni

Dalam sejenak detik-detik yang mengalir pelan telah bersalinrupa begitu tenang dari ketiadaannya yang jelita menjadi kehampaan yang makin menjadi.

Bisakah pagi ini aku pun menuai sendu dalam masa lalu melebur meruap luka dan menjadi satu di antara serpihannya?





No comments:

Post a Comment