Dalam Bus Tua
Aku
ingin seg’ra
lepas dari rantai pasungan ini lalu pergi kepada tepian hari dan membawa mimpi hingga
ke dalamnya yang paling dalam, ke suramnya yang paling suram.
Atau
itulah malam telah berterus terang: bahwa sepekat apapun duka ia akan tetap
terlentang?
Berhenti
memikirkan kemungkinan bagiku adalah mati yang tiba-tiba mencekal hati ketika merenda
kehidupan. Atau bisa saja kusebut sebagai malam yang tak begitu kuat dilalap
luka (kedalamanku yang penuh duka).
Karena
semua kemungkinan adalah berujung mati nantinya. Tanpa berdegupan kencang
seolah kehidupan terus memaksa untuk tetap terjaga mendengan gugusan yang
indah2. Meski tanpa suara tapi menjejak dalam telinga.
Barangkali
masih kamu menyebutku batu dalam pasir yang basah yang mengerami cahanya lalu
tersungkur selagi ada? Aku kembali kepada malam tanpa ada perkataan bahwanasib
sudah sedemikian pelan berterusterang........
Tentang
keburukan yang lama hinggap merintih.......tanpa lekang!
Dan
remah malam yang tercabut ketika.......disekat gamang!
Mereka
telah dilalap kemurkaan, nasib itu, meski inginnya terbuai
terbang.
Dalam Damai dan
Sepi
Dalam damai dan sepi engkau adalah perumpamaan yang
kosong jika didengar. Dalam damai dan sepi engkau begitu ada dalam masa di
tengah cawat yang rapi melintang. Dalam damai dan sepi engkau adalah langit,
engkau juga air yang kutelan pelan-pelan. Dalam damai dan sepi engkau tak
kunjung datang lagi mencucukkan peluh dalam batinku.
Dalam damai dan sepi engkau menjelang ketiadaan,
disapihnya air mata lalu cahayamu menghilang.
Jika Saja
Jika dibeginikan saja, dililit dan dihempaskan sampai
darahmu membuih dalam pedih, bagaimana?
Jika terbaring saja lalu dipapah meraung-raung
jeritanmu mengaduh menelan sunyi, bagaimana?
Jika ini mati dan hidup terjelang sia-sia sampai
kapanpun kerinduan tetap milik akhirat, pintu dan malaikatnya.
yakinlah selalu.
Kamu Langit
Langit adalah kata-kata yang tidak pernah selesai.
Tentang bintang-bintangnya yang gemar mengerlip meski berjarak dengan tanah.
Tentang bulan yang terkesima dengan cahaya yang menggerusnya ketika purnama.
Juga tentang kabut pagi, matahari yang juga merintih di balik wajah kelabunya.
Kamu adalah lagu kebahagiaan yang bunyinya pasti.
Tentang peluh dari balik persinggungan kita di bawah bintang-bintang. Tentang
rapuh yang rikuh yang risau mengaduh di bawah sinaran purnama. Tentang luka
yang lekas tersapu ketika kabut terlihat padu dengan matahari.
Bisakah aku menyebutmu yang datang dari langit, pada
suatu pagi?
Mahoni
Dalam sejenak detik-detik yang mengalir pelan telah
bersalinrupa begitu tenang dari ketiadaannya yang jelita menjadi kehampaan yang
makin menjadi.
Bisakah pagi ini aku pun menuai sendu dalam masa lalu
melebur meruap luka dan menjadi satu di antara serpihannya?
No comments:
Post a Comment