Fast-forward.
Tiba juga akhirnya di Gerbang Utama Tahura Djuanda. Romantisme masih
menggelayuti pikiran saya begitu melihat suasana Tahura Djuanda yang masih serupa
seperti apa yang tersisa di dalam ingatan. Teringat kembali ketika saya untuk
kali yang pertama ke sana, bersama teman-teman dan guru-guru sekolah minggu
HKBP Riau dalam suatu helatan Paskah. Foto-fotonya masih rapi terpajang di
album foto yang tersimpan di rumaah saya, di Jakarta. Juga ketika bersama
teman-teman SDK Paulus 3 dalam rangka
karyawisata. Serta puluhan kunjungan lain yang tidak perlu disebutkan rasionya
satu-persatu. Pada intinya, kenangan-kenangan tersebut muncul kembali
mengemuka, tepatnya di bawah panas matahari Bandung 2014 yang tidak
terhindarkan datangnya. Tidak seperti Bandung pada awal–awal masa kecil saya
tentunya ,dalam medio tahun 2000-2006.
Saya pun masuk ke dalam area Tahura
Djuanda setelah sebelumnya membayar bea masuk. Mulanya saya tergiur dengan
keberadaan tukang rujak yang mendirinkan dagangannya tepat di depan loket
pembelian tiket. Tetapi karena belum terlalu dilalap dahaga, juga masih ada
sebotol air mineral sebagai perbekalan, niat untuk menikmati sepiring rujak
kemudian hilang begitu saja.
Cucuran peluh pada tubuh yang juga
membasahi kaus kebangsaan saya, kaus hitam betruliskan “JOY DIVISION” dan
gambar sang pujaan, Ian Curtis di muka, lama kelamaan mongering, seperti
mengikuti aura teduh yang ditawarkan peppohonan beraneka nama yang berjejer di
tepian jalan berbatu yang saya tapaki. Tanpa perlu mengusap wajah untuk
menghilangkan peluh, wajah saya terasa seperti segar kembali, seperti baru
selesai mencuci muka di sebuah mata air pegunungan. Kaki pun ringan untuk
diayunkan, mengikuti alunan keheningan di dalam perasaan yang sejak awal tiba
di Tahura Djuanda sudah menguasai saya. Tidak tersisa terik sinar matahari
karena ditutupi daun-daun hijau yang mengayomi batang-batang pohon menjulang.
Kenyataan bahwa hidup itu terus bergulir
memang cukup menyakitkan. Tanpa peduli ada sakit yang diderita batin maupun
raga sebagai manusia biasa. Sementara itu di sisi yang lain, hidup tak cukup
menawarkan gelombang kebahagiaan yang bisa membuat kesusahan seperti kehilangan
makna. Bahwa tengah berada di antara kesejukan dan ketentraman Tahura Djuanda
mungkin tidak seberapa jika dibandingkan masalah-masalah yang menerpa hidup
secara bergantian. Tetapi cukup memberikan pandangan baru mengenai cara menghindar
dari keseharian yang tidak pernah lelah membebat saya. Suatu kenikmatan tersendiri,
meski bukan sebagai sebuah achievement
yang patut dibanggakan atau ditangisi karena terlalu bahagia.
Banyak bangunan kecil dari bahan bambu
yang terbengkalai dan tidak terurus saya temui di sisi kiri jalan dari arah
pintu gerbang utama yang saya tapaki. Kemungkinan bangunan-bangunan tersebut
pernah menjadi semacam warung yang didatangi para wisatawan untuk sekedar
duduk-duduk sembari menikmati minuman pelepas dahaga, karena beberapa bangunan
sejenis masih digunakan untuk hal tersebut. Satu hal lagi kuliah tentang
kehidupan. Suatu masa kita berada dalam kejayaan, di masa yang lain kita justru
terjebak dalam pusaran kesusahan. Tidak perlu diratapi secara kontinu memang,
tetapi yang namanya kesenjangan antara bahagia dengan nelangsa itu pasti akan
selalu menggetirkan. Bangunan-banguna tersebut pasti pernah ramai oleh
pengunjung, entah orang-orang asing dari Skandinavia ataupun murid-murid Sekolah
Dasar yang sedang kebagian jatah karyawisata pelajaran IPA. Tetapi sekarang
seperti bersalin muka dengan bedak kadaluarsa sehingga luarannya menjadi kusam.
Tersisa hanya pilu yang menghiasi. Kepahitan yang berantakan. Mata kuliah
pemaknaan hidup ini tidak bisa didapat dari semua kelas manapun pada
universitas apapun. Intisari yang tercucukkan dalam pikiran manusia yang hanya
bisa didapat hanya ketika kita mampu melihat setiap hal dalam sebuah perjalanan
dengan cara pandang bahwa setiap hal itu pasti mengandung cerita di balik
bentuk luarnya.
*****
Pukul dua siang waktu Dago Atas. Saya
tengah duduk di samping dagangan rujak yang ada di depan loket tiket masuk
tadi. Menikmati sepiring rujak yang kembali membuat saya tergiur, mungkin
karena cukup lelah dan tenggorokan semakin kerontang karena dahaga. Tidak jauh
dari tempat saya beristirahat sekelompok anak kecil turun dari sebuah bus
pariwisata. Dengan wajah riang penuh semangat, mereka berlarian menuju loket
tiket masuk Tahura Djuanda di belakang saya. Seperti melihat seorang Moses
Parlindungan dan teman-teman pada tahun
2000 ketika pertama kali datang ke sebuah tempat bernama Tahura Djuanda. Anak-anak
yang sudah ada di dekat pintu masuk kemudian menjuruskan pandangan ke arah
dagangan rujak di sebelah saya. Seperti tergiur dengan rujak yang rasanya
setengah manis setengah pedas yang pada siang hari saat itu bak mata air bagi
musafir dalam sebuah perjalanan napak tilas. Tetapi niat tersebut mereka
kurungkan, mungkin karena teringat nasihat ibu mereka untuk tidak jajan sembarangan
atau karena uang saku mereka tidak mencukupi untuk membeli sepiring rujak.
Setelah cukup lama menikmati romantisme
sekaligus menyelami perenungan bersama pohon-pohon bisu di Tahura Djuanda, saya
pulang dengan perasaan teduh. Tidak terpikirkan bahwa jalan yang akan saya
tapaki dalam perjalanan pulang sebelum mendapatkan angkutan umum utnuk
ditumpangi adalah jalan beraspal yang penuh debu dan melelahkan. Rupanya tidak
perlu mahal-mahal mencari wangsit kehidupan. Di Tahura Djuanda, saya
menemukannya di setiap langkah kaki di dalamnya.
No comments:
Post a Comment