March 1, 2014

Catatan dari Tur Jawa Barat Bagian Tengah-Selatan: Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda



Fast-forward. Tiba juga akhirnya di Gerbang Utama Tahura Djuanda. Romantisme masih menggelayuti pikiran saya begitu melihat suasana Tahura Djuanda yang masih serupa seperti apa yang tersisa di dalam ingatan. Teringat kembali ketika saya untuk kali yang pertama ke sana, bersama teman-teman dan guru-guru sekolah minggu HKBP Riau dalam suatu helatan Paskah. Foto-fotonya masih rapi terpajang di album foto yang tersimpan di rumaah saya, di Jakarta. Juga ketika bersama teman-teman SDK Paulus  3 dalam rangka karyawisata. Serta puluhan kunjungan lain yang tidak perlu disebutkan rasionya satu-persatu. Pada intinya, kenangan-kenangan tersebut muncul kembali mengemuka, tepatnya di bawah panas matahari Bandung 2014 yang tidak terhindarkan datangnya. Tidak seperti Bandung pada awal–awal masa kecil saya tentunya ,dalam medio tahun 2000-2006.

Saya pun masuk ke dalam area Tahura Djuanda setelah sebelumnya membayar bea masuk. Mulanya saya tergiur dengan keberadaan tukang rujak yang mendirinkan dagangannya tepat di depan loket pembelian tiket. Tetapi karena belum terlalu dilalap dahaga, juga masih ada sebotol air mineral sebagai perbekalan, niat untuk menikmati sepiring rujak kemudian hilang begitu saja.

Cucuran peluh pada tubuh yang juga membasahi kaus kebangsaan saya, kaus hitam betruliskan “JOY DIVISION” dan gambar sang pujaan, Ian Curtis di muka, lama kelamaan mongering, seperti mengikuti aura teduh yang ditawarkan peppohonan beraneka nama yang berjejer di tepian jalan berbatu yang saya tapaki. Tanpa perlu mengusap wajah untuk menghilangkan peluh, wajah saya terasa seperti segar kembali, seperti baru selesai mencuci muka di sebuah mata air pegunungan. Kaki pun ringan untuk diayunkan, mengikuti alunan keheningan di dalam perasaan yang sejak awal tiba di Tahura Djuanda sudah menguasai saya. Tidak tersisa terik sinar matahari karena ditutupi daun-daun hijau yang mengayomi batang-batang pohon menjulang.



Kenyataan bahwa hidup itu terus bergulir memang cukup menyakitkan. Tanpa peduli ada sakit yang diderita batin maupun raga sebagai manusia biasa. Sementara itu di sisi yang lain, hidup tak cukup menawarkan gelombang kebahagiaan yang bisa membuat kesusahan seperti kehilangan makna. Bahwa tengah berada di antara kesejukan dan ketentraman Tahura Djuanda mungkin tidak seberapa jika dibandingkan masalah-masalah yang menerpa hidup secara bergantian. Tetapi cukup memberikan pandangan baru mengenai cara menghindar dari keseharian yang tidak pernah lelah membebat saya. Suatu kenikmatan tersendiri, meski bukan sebagai sebuah achievement yang patut dibanggakan atau ditangisi karena terlalu bahagia.

Banyak bangunan kecil dari bahan bambu yang terbengkalai dan tidak terurus saya temui di sisi kiri jalan dari arah pintu gerbang utama yang saya tapaki. Kemungkinan bangunan-bangunan tersebut pernah menjadi semacam warung yang didatangi para wisatawan untuk sekedar duduk-duduk sembari menikmati minuman pelepas dahaga, karena beberapa bangunan sejenis masih digunakan untuk hal tersebut. Satu hal lagi kuliah tentang kehidupan. Suatu masa kita berada dalam kejayaan, di masa yang lain kita justru terjebak dalam pusaran kesusahan. Tidak perlu diratapi secara kontinu memang, tetapi yang namanya kesenjangan antara bahagia dengan nelangsa itu pasti akan selalu menggetirkan. Bangunan-banguna tersebut pasti pernah ramai oleh pengunjung, entah orang-orang asing dari Skandinavia ataupun murid-murid Sekolah Dasar yang sedang kebagian jatah karyawisata pelajaran IPA. Tetapi sekarang seperti bersalin muka dengan bedak kadaluarsa sehingga luarannya menjadi kusam. Tersisa hanya pilu yang menghiasi. Kepahitan yang berantakan. Mata kuliah pemaknaan hidup ini tidak bisa didapat dari semua kelas manapun pada universitas apapun. Intisari yang tercucukkan dalam pikiran manusia yang hanya bisa didapat hanya ketika kita mampu melihat setiap hal dalam sebuah perjalanan dengan cara pandang bahwa setiap hal itu pasti mengandung cerita di balik bentuk luarnya.

*****

Pukul dua siang waktu Dago Atas. Saya tengah duduk di samping dagangan rujak yang ada di depan loket tiket masuk tadi. Menikmati sepiring rujak yang kembali membuat saya tergiur, mungkin karena cukup lelah dan tenggorokan semakin kerontang karena dahaga. Tidak jauh dari tempat saya beristirahat sekelompok anak kecil turun dari sebuah bus pariwisata. Dengan wajah riang penuh semangat, mereka berlarian menuju loket tiket masuk Tahura Djuanda di belakang saya. Seperti melihat seorang Moses Parlindungan dan teman-teman  pada tahun 2000 ketika pertama kali datang ke sebuah tempat bernama Tahura Djuanda. Anak-anak yang sudah ada di dekat pintu masuk kemudian menjuruskan pandangan ke arah dagangan rujak di sebelah saya. Seperti tergiur dengan rujak yang rasanya setengah manis setengah pedas yang pada siang hari saat itu bak mata air bagi musafir dalam sebuah perjalanan napak tilas. Tetapi niat tersebut mereka kurungkan, mungkin karena teringat nasihat ibu mereka untuk tidak jajan sembarangan atau karena uang saku mereka tidak mencukupi untuk membeli sepiring rujak.

Setelah cukup lama menikmati romantisme sekaligus menyelami perenungan bersama pohon-pohon bisu di Tahura Djuanda, saya pulang dengan perasaan teduh. Tidak terpikirkan bahwa jalan yang akan saya tapaki dalam perjalanan pulang sebelum mendapatkan angkutan umum utnuk ditumpangi adalah jalan beraspal yang penuh debu dan melelahkan. Rupanya tidak perlu mahal-mahal mencari wangsit kehidupan. Di Tahura Djuanda, saya menemukannya di setiap langkah kaki di dalamnya.






No comments:

Post a Comment