February 20, 2014

Catatan dari Tur Jawa Barat Bagian Tengah-Selatan: Bogor-Bandung (I)

Di Bandung, saya menemukan kembali penggalan-penggalan ingatan yang sebelumnya tidak pernah terjamah lagi. Sudut-sudut kota yang saya jelajahi dengan sepeda motor membuat saya tersenyum mengiringi munculnya kenangan-kenangan tentang masa silam. Enam tahun di Bandung tidak akan pernah membuat saya lupa akan ketentraman yang ditawarkan kota itu. Sungguh melegakan ketika mengunjungi kembali tempat-tempat yang dulu sering saya datangi, untuk berjalan-jalan bersama keluarga, bersekolah, ikut mama berbelanja, atau sekedar lapak majalah tempat saya biasa membeli (tepatnya, dibelikan mama) majalah dulu. Enam tahun di Bandung terangkum dalam enam hari tetirah di sana. Terimakasih kepada Wilson Christoper, saudara saya sejak SMA yang memberikan kamarnya untuk saya tumpangi dan waktunya untuk menemani saya selama di Bandung. Semoga sukses dalam perkuliahan saudara di ITB.

Pada awalnya, saya hanya merencanakan untuk tinggal di Bandung selama tiga hari, sebagai bagian dari tur jawa yang menjadi tujuan saya di jeda kuliah antarsemester kemarin. Sebelumnya, saya tiga hari singgah di Bogor. Tidak terlalu memberikan kesan, cuaca yang buruk dan hujan deras yang awet membuat saya tidak bisa mengeksplorasi Bogor dan sekitarnya, setidaknya sesuai dengan harapan saya setiba di sana. Tiga hari di Bogor saya habiskan untuk sekedar “temu-kangen” dengan Devin, juga saudara saya sejak SMA yang sedang susah payah di Ilmu Komputer IPB. Sisanya, bukan sesuatu yang monumental untuk dikisahkan maupun dikenang. Dengan menggunakan bus MGI, pada tanggal 29 Januari akhirnya saya menyudahi tetirah saya di Bogor untuk melanjutkannya di Kota Bandung. Harga tiket busnya tidak terlalu mahal, Rp. 55.000,00 untuk bus yang menggunakan penyejuk udara di dalamnya.

Perjalanan dari Bogor menuju Bandung menghabiskan waktu selama kurang lebih tujuh jam. Pada satu titik di jalan tol Cipularang yang menghubungkan Jakarta dengan Bandung rusak parah akibat hujan deras yang mengakibatkan longsornya ruas jalan menuju Bandung. Kemacetan luar biasa pun tidak terhindarkan. Pukul sembilan malam, saya baru tiba di Terminal Leuwipanjang, setelah berangkat dari Bogor pada pukul dua siang. Sekitar pukul sembilan malam lewat tiga puluh menit saya baru merasa benar-benar tiba di Bandung ketika bertemu dengan Wilson yang sebelumnya telah saya hubungi untuk menjemput di depan sebuah rumah makan cepat saji di bilangan Dago.

Fast-forward. Kemudian saya terbangun di pagi hari tanggal 30 Januari. Tidur yang sangat melegakan, sebagaimana tidur pada umumnya ketika masa liburan. Ketika bangun saya sendirian, Wilson tidak ada. Mungkin sudah berangkat kuliah, pikir saya. Waktu perkuliahan di ITB memang sudah berjalan ketika saya yang mahasiswa UGM baru saja memulai masa libur. Hal yang sama berlaku sebaliknya, ketika di ITB libur di Yogyakarta mahasiswa UGM masih berkutat di kampus untuk kuliah.

Banyak rencana yang terhidang di etalase pikiran saya mengenai bagaimana cara menikmati Bandung selama tiga hari saja. Wilson pada malam sebelumnya juga telah mengajak saya untuk ikut mendaki gunung bersama teman-temannya dari ITB. Nama gunungnya Gunung Manglayang. Terlepas dari ketidaktahuan bahwa ada sebuah gunung dengan nama itu di pulau Jawa, saya tidak segera mengiyakan karena pada saat itu cuaca sangat buruk dan tidak bisa diperkirakan kapan waktunya akan cerah dan kapan waktunya hujan akan turun berdatangan. Melalui banyak pertimbangan (waktu, ongkos, dsb) juga riset di internet, saya putuskan untuk mengunjungi Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda (Tahura Djuanda) dan Kineruku. Tempat yang pertama bukan sesuatu yang baru bagi saya. Ketika enam tahun tinggal di Bandung, seluruh masa di Sekolah Dasar saya habiskan di sana, Tahura Djuanda sering saya kunjungi baik bersama keluarga ataupun ketika sekolah saya mengadakan karyawisata. Tempat yang kedua, murni karena keingintahuan yang besar, yang pernah direkomendasikan untuk dikunjungi di Bandung oleh salah seorang saudara saya di Fakultas Hukum UGM bernama Hilman Fathoni. Dari informasi yang dipeoleh melalui laman twitternya dengan akun @kineruku, tempat tersebut menawarkan suasana kafe yang dijejali buku, koleksi film serta musik yang berkualitas. Tentu saya akan menyesal jika meninggalkan Bandung tanpa bertandang kesana.

Setelah menyantap kupat tahu sebagai sarapan, saya menuju tempat yang pertama. Jaraknya cukup dekat dengan pondokan Wilson, sekali menggunakan angkutan umum dengan trayek Dago-Kalapa. Saya turun di terminal Dago untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Awalnya saya mengira bahwa jarak yang terbentang dari Terminal Dago menuju Tahura Djuanda mudah dicapai dengan berjalan kaki. Pada kenyataannya justru seperti berjalan kaki dari Bunderan Hotel Indonesia menuju Stadion Gelora Bung Karno. Ternyata masih jauh dari terminal Dago! Bahkan saya melihat angkutan umum Dago-Kalapa ramai berseliweran di jalan raya setelah Terminal Dago, searah dengan jalan yang saya tapaki menuju Tahura Djuanda. Dalam hati saya mengutuki diri sendiri, karena ternyata tidak semua mobil Dago-Kalapa memiliki tepat perhentian terakhir di Dago. Tetapi saya mengurungkan niat tersebut, karena berpikir bahwa tujuan saya tidak jauh lagi, sangat tanggung jika menumpang mobil Dago-Kalapa.


Ternyata memang masih jauh. Peluh membanjir di seluruh tubuh seketika, angkasa begitu kejam untuk menebarkan cahaya matahari dengan keterlaluan. Gambar-gambar calon anggota dewan yang menjamur di sisi kiri maupun kanan jalan semakin menambah rasa kesal yang sebentar-sebentar bisa saja meledak dari kepala dan hati saya. Beruntung ada sumpah serapah dan kata-kata kotor, saya bisa mengeluarkan rasa kesal itu melalui mulut saya. Satu lagi, kontur jalannya cukup menanjak, jika tidak bisa disebut terjal. (bersambung ke bagian dua)

No comments:

Post a Comment