Di Bandung, saya menemukan kembali
penggalan-penggalan ingatan yang sebelumnya tidak pernah terjamah lagi. Sudut-sudut
kota yang saya jelajahi dengan sepeda motor membuat saya tersenyum mengiringi
munculnya kenangan-kenangan tentang masa silam. Enam tahun di Bandung tidak
akan pernah membuat saya lupa akan ketentraman yang ditawarkan kota itu. Sungguh
melegakan ketika mengunjungi kembali tempat-tempat yang dulu sering saya datangi,
untuk berjalan-jalan bersama keluarga, bersekolah, ikut mama berbelanja, atau
sekedar lapak majalah tempat saya biasa membeli (tepatnya, dibelikan mama)
majalah dulu. Enam tahun di Bandung terangkum dalam enam hari tetirah di sana. Terimakasih
kepada Wilson Christoper, saudara saya sejak SMA yang memberikan kamarnya untuk
saya tumpangi dan waktunya untuk menemani saya selama di Bandung. Semoga sukses
dalam perkuliahan saudara di ITB.
Pada
awalnya, saya hanya merencanakan untuk tinggal di Bandung selama tiga hari,
sebagai bagian dari tur jawa yang menjadi tujuan saya di jeda kuliah
antarsemester kemarin. Sebelumnya, saya tiga hari singgah di Bogor. Tidak terlalu
memberikan kesan, cuaca yang buruk dan hujan deras yang awet membuat saya tidak
bisa mengeksplorasi Bogor dan sekitarnya, setidaknya sesuai dengan harapan saya
setiba di sana. Tiga hari di Bogor saya habiskan untuk sekedar “temu-kangen”
dengan Devin, juga saudara saya sejak SMA yang sedang susah payah di Ilmu
Komputer IPB. Sisanya, bukan sesuatu yang monumental untuk dikisahkan maupun
dikenang. Dengan menggunakan bus MGI, pada tanggal 29 Januari akhirnya saya
menyudahi tetirah saya di Bogor untuk melanjutkannya di Kota Bandung. Harga tiket
busnya tidak terlalu mahal, Rp. 55.000,00 untuk bus yang menggunakan penyejuk
udara di dalamnya.
Perjalanan
dari Bogor menuju Bandung menghabiskan waktu selama kurang lebih tujuh jam. Pada
satu titik di jalan tol Cipularang yang menghubungkan Jakarta dengan Bandung
rusak parah akibat hujan deras yang mengakibatkan longsornya ruas jalan menuju
Bandung. Kemacetan luar biasa pun tidak terhindarkan. Pukul sembilan malam,
saya baru tiba di Terminal Leuwipanjang, setelah berangkat dari Bogor pada
pukul dua siang. Sekitar pukul sembilan malam lewat tiga puluh menit saya baru
merasa benar-benar tiba di Bandung ketika bertemu dengan Wilson yang sebelumnya
telah saya hubungi untuk menjemput di depan sebuah rumah makan cepat saji di
bilangan Dago.
Fast-forward.
Kemudian saya terbangun di pagi hari tanggal 30 Januari. Tidur yang sangat
melegakan, sebagaimana tidur pada umumnya ketika masa liburan. Ketika bangun
saya sendirian, Wilson tidak ada. Mungkin sudah berangkat kuliah, pikir saya. Waktu
perkuliahan di ITB memang sudah berjalan ketika saya yang mahasiswa UGM baru
saja memulai masa libur. Hal yang sama berlaku sebaliknya, ketika di ITB libur
di Yogyakarta mahasiswa UGM masih berkutat di kampus untuk kuliah.
Banyak
rencana yang terhidang di etalase pikiran saya mengenai bagaimana cara menikmati
Bandung selama tiga hari saja. Wilson pada malam sebelumnya juga telah mengajak
saya untuk ikut mendaki gunung bersama teman-temannya dari ITB. Nama gunungnya
Gunung Manglayang. Terlepas dari ketidaktahuan bahwa ada sebuah gunung dengan
nama itu di pulau Jawa, saya tidak segera mengiyakan karena pada saat itu cuaca
sangat buruk dan tidak bisa diperkirakan kapan waktunya akan cerah dan kapan
waktunya hujan akan turun berdatangan. Melalui banyak pertimbangan (waktu,
ongkos, dsb) juga riset di internet, saya putuskan untuk mengunjungi Taman
Hutan Raya Ir. H. Djuanda (Tahura Djuanda) dan Kineruku. Tempat yang pertama
bukan sesuatu yang baru bagi saya. Ketika enam tahun tinggal di Bandung, seluruh
masa di Sekolah Dasar saya habiskan di sana, Tahura Djuanda sering saya
kunjungi baik bersama keluarga ataupun ketika sekolah saya mengadakan
karyawisata. Tempat yang kedua, murni karena keingintahuan yang besar, yang
pernah direkomendasikan untuk dikunjungi di Bandung oleh salah seorang saudara
saya di Fakultas Hukum UGM bernama Hilman Fathoni. Dari informasi yang dipeoleh
melalui laman twitternya dengan akun @kineruku, tempat tersebut menawarkan
suasana kafe yang dijejali buku, koleksi film serta musik yang berkualitas. Tentu
saya akan menyesal jika meninggalkan Bandung tanpa bertandang kesana.
Setelah
menyantap kupat tahu sebagai sarapan, saya menuju tempat yang pertama. Jaraknya
cukup dekat dengan pondokan Wilson, sekali menggunakan angkutan umum dengan
trayek Dago-Kalapa. Saya turun di terminal Dago untuk melanjutkan perjalanan
dengan berjalan kaki. Awalnya saya mengira bahwa jarak yang terbentang dari
Terminal Dago menuju Tahura Djuanda mudah dicapai dengan berjalan kaki. Pada kenyataannya
justru seperti berjalan kaki dari Bunderan Hotel Indonesia menuju Stadion
Gelora Bung Karno. Ternyata masih jauh dari terminal Dago! Bahkan saya melihat
angkutan umum Dago-Kalapa ramai berseliweran di jalan raya setelah Terminal
Dago, searah dengan jalan yang saya tapaki menuju Tahura Djuanda. Dalam hati
saya mengutuki diri sendiri, karena ternyata tidak semua mobil Dago-Kalapa
memiliki tepat perhentian terakhir di Dago. Tetapi saya mengurungkan niat
tersebut, karena berpikir bahwa tujuan saya tidak jauh lagi, sangat tanggung
jika menumpang mobil Dago-Kalapa.
Ternyata
memang masih jauh. Peluh membanjir di seluruh tubuh seketika, angkasa begitu
kejam untuk menebarkan cahaya matahari dengan keterlaluan. Gambar-gambar calon
anggota dewan yang menjamur di sisi kiri maupun kanan jalan semakin menambah
rasa kesal yang sebentar-sebentar bisa saja meledak dari kepala dan hati saya. Beruntung
ada sumpah serapah dan kata-kata kotor, saya bisa mengeluarkan rasa kesal itu
melalui mulut saya. Satu lagi, kontur jalannya cukup menanjak, jika tidak bisa
disebut terjal. (bersambung ke bagian dua)
No comments:
Post a Comment