Kawah Putih, Ciwidey
Aku
menunggumu di balik kabut
jelitaku.
Aku
sesisir jelaga yang tengah bercucuran
telah
nelangsakan hadirmu.
Lama,
di tepian fajar ini juga.
Kamu
melafalkan rindu yang telah
menjangkiti
peluhmu sedemikian lama.
Lelah
bukan?
Lalu
aku tuli perlahan,
lalu
aku buta sejenak,
karena
rindu itu juga telah kubenamkan.
Lama
juga.
Di Gunungpadang
Batu
demi batu ini tak sedemikian gusar untuk segera membawamu kepada Perhentian.
Batu berbicara dalam zaman. Batu melanggengkan Doa, sujud permintaan.
Pohon
tak sedemikian keras menghunjamkan gugusnya kepadamu. Pohon berdenyut dicacah
Waktu. Pohon tegak terasing dan terbawa angin riuh.
Nyanyian untuk Pantai
Selamat
malam, ombak. Aku yang pertama kali, mungkin di dalam ruang dan waktu yang
engkau jelajahi bersama hujan, angin, dan pasir basah, yang menunggumu begitu
setia. Sampai sampai langit segan menapalkan jarak antara air mata dengan
senyuman. Antara tangisan dan tawa bahagia. Antara kita berdua tak ada lagi
jarak. Memabukkan dan mempertegas sengsaraku.
Selamat
malam, ombak. Meski hanya pikiranku yang memberikan nada perpisahan, hatiku
sudah bertaut padu dengan sampiranmu. Meski kedua tangankakiku berpeluh,
tubuhku semakin terasa satu dengan sajakmu yang gelora. Sedikit saja aku menyentuk
api dalam katamu, perlahan aku pasti tersapih.
Selamat
malam, ombak. Selama bulan yang separo purnama masih bisa tersenyum. Selama
lampu nun di sana masih terus melalak. Malam adalah milik kita saja, tanpa ragu
aku menyebutnya kesempurnaan.
Hegarmanah 52
Dua
kursi di pelataran pukul empat; ketika berdiri mereka
berdua
dalam lakonnya yang diam
aku
masih saja merisau tentang malam,
haru
biru, dan keresahan yang kamu rapalkan
di
suatu pagi.
Ketika
berdiri mereka
berdua
dalam sesak panas cahaya yang kamu pernah bilang
dengan
desah2 basah: “hari yang panas, kan?”
Lalu
aku mencari kamu yang mungkin saja berkehendak untuk menjadi batu
Ketika
berdiri mereka
berdua;
jam yang menunjukkan pukul empat,
pelataran
tanah yang mereka pijakkan kakikakina di sana
disapu
debu dilahap sedemikian kencang ketika angin melesat
di
bagian muka
Buih
itu tiada nyata untukmu
Kamukah
batu itu?
Di Gunung Manglayang
Bayangkan lumpur-lumpur di antara batu yang tabunya
yang dari malam hingga pagi menyatu,
saat itu aku hanya menggumam tentang namamu.
Bayangkan daun-daun di antara waktu yang dipisahkan
kabut yang mencari air mata untuk ditetaskan,
saat itu aku hanya menggumam tentang namamu.
Bayangkan batang-batang keropos di antara penghujan
yang berjalan dalam diamnya yang takut untuk bicara,
saat itu aku hanya menggumam tentang namamu.
Namamu begitu luput jika tak kukatakan
maka kugumamkan saja supaya lepas dari keresahan aku
maka hadir dan menyela kamu ketika terjungkal aku.
No comments:
Post a Comment