February 20, 2014

puisi kelana (1)


Kawah Putih, Ciwidey

Aku menunggumu di balik kabut
jelitaku.
Aku sesisir jelaga yang tengah bercucuran
telah nelangsakan hadirmu.

Lama, di tepian fajar ini juga.

Kamu melafalkan rindu yang telah
menjangkiti peluhmu sedemikian lama.
Lelah bukan?

Lalu aku tuli perlahan,
lalu aku buta sejenak,
karena rindu itu juga telah kubenamkan.
Lama juga.
















Di Gunungpadang

Batu demi batu ini tak sedemikian gusar untuk segera membawamu kepada Perhentian. Batu berbicara dalam zaman. Batu melanggengkan Doa, sujud permintaan.

Pohon tak sedemikian keras menghunjamkan gugusnya kepadamu. Pohon berdenyut dicacah Waktu. Pohon tegak terasing dan terbawa angin riuh.
















Nyanyian untuk Pantai

Selamat malam, ombak. Aku yang pertama kali, mungkin di dalam ruang dan waktu yang engkau jelajahi bersama hujan, angin, dan pasir basah, yang menunggumu begitu setia. Sampai sampai langit segan menapalkan jarak antara air mata dengan senyuman. Antara tangisan dan tawa bahagia. Antara kita berdua tak ada lagi jarak. Memabukkan dan mempertegas sengsaraku.

Selamat malam, ombak. Meski hanya pikiranku yang memberikan nada perpisahan, hatiku sudah bertaut padu dengan sampiranmu. Meski kedua tangankakiku berpeluh, tubuhku semakin terasa satu dengan sajakmu yang gelora. Sedikit saja aku menyentuk api dalam katamu, perlahan aku pasti tersapih.

Selamat malam, ombak. Selama bulan yang separo purnama masih bisa tersenyum. Selama lampu nun di sana masih terus melalak. Malam adalah milik kita saja, tanpa ragu aku menyebutnya kesempurnaan.


Hegarmanah 52

Dua kursi di pelataran pukul empat; ketika berdiri mereka
berdua dalam lakonnya yang diam
aku masih saja merisau tentang malam,
haru biru, dan keresahan yang kamu rapalkan
di suatu pagi.
Ketika berdiri mereka
berdua dalam sesak panas cahaya yang kamu pernah bilang
dengan desah2 basah: “hari yang panas, kan?”

Lalu aku mencari kamu yang mungkin saja berkehendak untuk menjadi batu

Ketika berdiri mereka
berdua; jam yang menunjukkan pukul empat,
pelataran tanah yang mereka pijakkan kakikakina di sana
disapu debu dilahap sedemikian kencang ketika angin melesat
di bagian muka

Buih itu tiada nyata untukmu

Kamukah batu itu?




Di Gunung Manglayang

Bayangkan lumpur-lumpur di antara batu yang tabunya yang dari malam hingga pagi menyatu,
saat itu aku hanya menggumam tentang namamu.

Bayangkan daun-daun di antara waktu yang dipisahkan kabut yang mencari air mata untuk ditetaskan,
saat itu aku hanya menggumam tentang namamu.

Bayangkan batang-batang keropos di antara penghujan yang berjalan dalam diamnya yang takut untuk bicara,
saat itu aku hanya menggumam tentang namamu.

Namamu begitu luput jika tak kukatakan
maka kugumamkan saja supaya lepas dari keresahan aku
maka hadir dan menyela kamu ketika terjungkal aku.


No comments:

Post a Comment