Malam itu, jika anda datang ke Salihara
menonton pertunjukan Indro Hardjodikoro The Fingers, kemungkinan besar anda
akan takjub dengan keajaiban yang terhidang dari bebunyian instrumen-instrumen
musik mereka. Bagi anda yang bukan penggemar The Beatles dan sebelumnya tidak
tahu-menahu perihal tajuk dari acara tersebut, anda akan sulit mengira bahwa
repertoar-repertoar yang mereka mainkan adalah lagu-lagu The Beatles.
Pertunjukan malam itu bisa jadi sebuah “perkosaan” yang terlalu vulgar bagi
para Beatlemania (sebutan untuk
penggemar The Beatles), yang kadung jatuh ke dalam melodi-melodi penuh
harmoninya John Lennon dan kawan-kawan. Tetapi, pada akhir pertunjukan bukan
cercaan maupun kecaman yang muncul mengemuka. Kedua hal yang biasanya menjadi
respon atas suatu penyimpangan sosial bernama perkosaan. Justru “perkosaan” itu
dirayakan dengan gegap gempita. Hingar-bingar. Tak sedikit pula yang memberikan
standing applause beberapa saat
setelah dramer Yandi Andaputra menyelesaikan solo drum-nya, pertanda pertunjukan telah mencapai final.
Pertunjukan malam itu diberi tajuk “Ini
Hanya The Beatles”, dan merupakan bagian dari Jazz Buzz, sebuah perhelatan
musik jazz tahunan yang diadakan oleh Komunitas Salihara setiap awal tahun. Tahun
ini, Jazz Buzz diadakan pada hari Sabtu setiap pekan di bulan Januari. Setiap
harinya ada dua buah pertunjukan yang berbeda temanya serta menghadirkan
penampil yang juga berbeda. Hari itu, Sabtu 18 Januari 2014, saya menyambangi
Salihara untuk menonton dua pertunjukan sekaligus. Selain pertunjukannya Indro
Hardjodikoro The Fingers, saya juga melihat kegeniusan Glen Dauna, seorang
pianis jazz terkemuka, yang pada kesempatan kali itu memperoleh kredensial
untuk “memperkosa” karya-karya Jimi Hendrix. Pertunjukan berjudul “Sayap Kecil
Jimi Hendrix” tersebut berlangsung pada pukul 4 sore, sedangkan “Ini Hanya The
Beatles” dihelat pada pukul 8 malam setelahnya.
Jujur, dari dua pertunjukan tersebut
hanya pertunjukan pada jam 8 malam yang merebut atensi saya. Bukan seorang
penggila Jimi Hendrix (saya tidak tahu satupun lagunya Jimi Hendrix, maaf,
satu-satunya “the class of 27” yang tidak saya dewakan tanpa alasan tertentu)
membuat saya hanya duduk dengan tenang selama pertunjukan Glen Dauna, yang
malam itu mentas bersama Glen Dauna Project. Apresiasi yang saya tunjukkan
hanya terkait aspek eksplorasi dari para penampil yang menurut saya menunjukkan
totalitas luar biasa, layaknya sedang bermusik di sebuah festival jazz berskala
global. Keluar dari ruang pertunjukan, saya tidak membawa apa-apa yang berarti
untuk diceritakan.
Untuk
pertunjukan yang kedua, saya kehabisa kata-kata untuk sekedar menyimpulkan,
bahwa “perkosaan” oleh Indro Hardjodikoro The Fingers pada The Beatles malam
itu adalah sebuah keberhasilan musikalitas murni; pencapaian monumental yang
sulit disamai oleh pemusik-pemusik lain di luar sana. Ini semua saya lontarkan
dengan latar belakang bahwa saya adalah seorang Beatlemania, hampir mendengar
seluruh lagu-lagunya dan mengagungkan melodi-melodinya.
Saya sempat resah karena pertunjukan
yang sedianya dilangsungkan pada pukul 8 malam sempat molor hingga beberapa
menit. Pada pukul 8 lewat 20 menit, akhirnya pertunjukan dimulai juga.
Pertunjukan diawali dengan sajian berkelas dan membahana dari sang dramer,
Yandi Andaputra, yang (kata Indro Hardjodikoro sendiri) masih berstatus siswa
SMA. Ruang Teater Salihara yang gelap hanya memberikan penerangan kepada Yandi,
sehingga atensi murni tertuju kepadanya. Solo
drum yang memikat, cukup lama, kemudian diikuti dengan masuknya
penampil-penampil lain yaitu Andy Gomez (kibor), Fajar Adi Nugroho (bas), dan
yang terakhir, sang “kepala suku”, Indro Hardjodikoro, siap untuk mencabik
telinga penonton dengan betotan-betotannya yang sudah mendunia itu.
Sajian pertama yang dihidangkan adalah
“Lady Madonna.” Hal yang menarik, yang kemudian menjadi pattern dari setiap nomor yang dibawakan pada malam itu adalah
hanya sepenggal dari lagu aslinya, yang kemudian menjadi bagian dari karya yang
mereka mainkan. Sisanya adalah eksplorasi gila-gilaan khas musisi yang
berkiprah di dunia jazz. Selanjutnya,
secara berurutan mereka menampilkan “Michelle”, “Norwegian Wood”, medley tiga
lagu yaitu “Here, There, and Everywhere”, “Here Comes the Sun” serta “Penny
Lane”, kemudian diikuti dengan “Blackbird”, “And I Love Her”, “Julia”, lalu
medley tiga lagu “Yesterday”, “The Long and Winding Road”, dan “If I Fell.”
Sebagai repertoar final, lagu The Beatles yang menjadi favorit saya, “Strawberry
Fields Forever”, memberikan sentuhan magis yang tak kalah menghegemoni jika
dibandingkan dengan versi aslinya. Penampilan mereka didukung pula dengan
kehadiran seorang solois perempuan dan seorang solois laki-laki (saya lupa nama
mereka) yang memberikan sentuhan vokal pada nomor “Blackbird” hingga medley
yang kedua berakhir. Pada akhir pertunjukan, pola yang sama dilakukan
sebagaimana dengan cara mereka memulainya. Satu-persatu para penampil
meninggalkan arena pertunjukan, Indro dan Fajar meletakkan bass mereka, Andy
meninggalkan kibornya, kemudian lampu yang sebelumnya menerangi mereka perlahan
meredup, menyisakan sorotan terakhir kepada Yandi, sang dramer yang kemudian
kembali menampilkan permainan solo nan aduhai. Ketika Yandi meninggalkan
tempatnya, seperti yang saya ceritakan di awal, gegap gempita kemudian meriuhi
ruang Teater Salihara bersama tepuk tangan meriah, juga standing applause dari beberapa penonton yang hadir malam itu.
Tanpa mengesampingkan kualitas dari Glen
Dauna Project pada pertunjukan “Sayap Kecil Jimi Hendrix”, nama besar The
Beatles mungkin menjadi magnet tersendiri bagi penonton yang hadir dalam
pertunjukan “Ini Hanya The Beatles.” Ini terlihat dari komparasi jumlah
penonton yang hadir dalam kedua pertunjukan. Pada pertunjukan pertama masih
terlihat banyak kursi kosong di ruang Teater Salihara, kontras dengan pemandangan
di pertunjukan kedua, dimana kursi yang tersedia diisi penuh, bahkan membuat
penonton yang kehabisan tempat duduk meluber hingga ke dekat arena pertunjukan.
Penonton yang hadir pada malam itu sekaligus menegaskan bahwa The Beatles tidak
identik dengan para “generasi enampuluhan” atau “generasi tujuhpuluhan.” Cukup
banyak penonton yang berasal dari golongan muda, saya melihatnya dari gaya
berpakaian, bertutur, serta penampilan luar tentunya. Jangan dilupakan juga
bahwa sang dramer dari Indro Hardjodikoro The Fingers juga masih “anak
sekolahan.” The Beatles memang masih membius di era musik cahaya laser ataupun
balada satu malam yang tanpa aura seperti sekarang ini.
Sekali lagi, sulit untuk melukiskan
dalam kata-kata mengenai atraksi eksploratif pada malam itu. “Perkosaan”
teramat brutal itu akan selalu terkenang dalam ingatan saya. Barangkali John
Lennon, sang mastermind dari sebagian besar lagu yang dimainkan pada malam itu,
menyunggingkan senyum ambiguis dari peraduannya. Senyum bahagia karena
karya-karyanya masih tetap hidup di tahun 2014, juga senyum meringis akibat
serangan sporadis-sistemik terhadap lagu-lagu yang ia karangkan entah sendirian
atau bersama Paul McCartney, sang kompatriot tulen.
(sumber gambar: https://acara-event.com/wp-content/uploads/2014/01/Salihara-Jazz-Buzz-2014.jpg)
No comments:
Post a Comment