January 25, 2014

SALIHARA DAN SENYUMAN AMBIGUIS JOHN LENNON











Malam itu, jika anda datang ke Salihara menonton pertunjukan Indro Hardjodikoro The Fingers, kemungkinan besar anda akan takjub dengan keajaiban yang terhidang dari bebunyian instrumen-instrumen musik mereka. Bagi anda yang bukan penggemar The Beatles dan sebelumnya tidak tahu-menahu perihal tajuk dari acara tersebut, anda akan sulit mengira bahwa repertoar-repertoar yang mereka mainkan adalah lagu-lagu The Beatles. Pertunjukan malam itu bisa jadi sebuah “perkosaan” yang terlalu vulgar bagi para Beatlemania (sebutan untuk penggemar The Beatles), yang kadung jatuh ke dalam melodi-melodi penuh harmoninya John Lennon dan kawan-kawan. Tetapi, pada akhir pertunjukan bukan cercaan maupun kecaman yang muncul mengemuka. Kedua hal yang biasanya menjadi respon atas suatu penyimpangan sosial bernama perkosaan. Justru “perkosaan” itu dirayakan dengan gegap gempita. Hingar-bingar. Tak sedikit pula yang memberikan standing applause beberapa saat setelah dramer Yandi Andaputra menyelesaikan solo drum-nya, pertanda pertunjukan telah mencapai final.

Pertunjukan malam itu diberi tajuk “Ini Hanya The Beatles”, dan merupakan bagian dari Jazz Buzz, sebuah perhelatan musik jazz tahunan yang diadakan oleh Komunitas Salihara setiap awal tahun. Tahun ini, Jazz Buzz diadakan pada hari Sabtu setiap pekan di bulan Januari. Setiap harinya ada dua buah pertunjukan yang berbeda temanya serta menghadirkan penampil yang juga berbeda. Hari itu, Sabtu 18 Januari 2014, saya menyambangi Salihara untuk menonton dua pertunjukan sekaligus. Selain pertunjukannya Indro Hardjodikoro The Fingers, saya juga melihat kegeniusan Glen Dauna, seorang pianis jazz terkemuka, yang pada kesempatan kali itu memperoleh kredensial untuk “memperkosa” karya-karya Jimi Hendrix. Pertunjukan berjudul “Sayap Kecil Jimi Hendrix” tersebut berlangsung pada pukul 4 sore, sedangkan “Ini Hanya The Beatles” dihelat pada pukul 8 malam setelahnya. 

Jujur, dari dua pertunjukan tersebut hanya pertunjukan pada jam 8 malam yang merebut atensi saya. Bukan seorang penggila Jimi Hendrix (saya tidak tahu satupun lagunya Jimi Hendrix, maaf, satu-satunya “the class of 27” yang tidak saya dewakan tanpa alasan tertentu) membuat saya hanya duduk dengan tenang selama pertunjukan Glen Dauna, yang malam itu mentas bersama Glen Dauna Project. Apresiasi yang saya tunjukkan hanya terkait aspek eksplorasi dari para penampil yang menurut saya menunjukkan totalitas luar biasa, layaknya sedang bermusik di sebuah festival jazz berskala global. Keluar dari ruang pertunjukan, saya tidak membawa apa-apa yang berarti untuk diceritakan.

Untuk pertunjukan yang kedua, saya kehabisa kata-kata untuk sekedar menyimpulkan, bahwa “perkosaan” oleh Indro Hardjodikoro The Fingers pada The Beatles malam itu adalah sebuah keberhasilan musikalitas murni; pencapaian monumental yang sulit disamai oleh pemusik-pemusik lain di luar sana. Ini semua saya lontarkan dengan latar belakang bahwa saya adalah seorang Beatlemania, hampir mendengar seluruh lagu-lagunya dan mengagungkan melodi-melodinya.

Saya sempat resah karena pertunjukan yang sedianya dilangsungkan pada pukul 8 malam sempat molor hingga beberapa menit. Pada pukul 8 lewat 20 menit, akhirnya pertunjukan dimulai juga. Pertunjukan diawali dengan sajian berkelas dan membahana dari sang dramer, Yandi Andaputra, yang (kata Indro Hardjodikoro sendiri) masih berstatus siswa SMA. Ruang Teater Salihara yang gelap hanya memberikan penerangan kepada Yandi, sehingga atensi murni tertuju kepadanya. Solo drum yang memikat, cukup lama, kemudian diikuti dengan masuknya penampil-penampil lain yaitu Andy Gomez (kibor), Fajar Adi Nugroho (bas), dan yang terakhir, sang “kepala suku”, Indro Hardjodikoro, siap untuk mencabik telinga penonton dengan betotan-betotannya yang sudah mendunia itu.

Sajian pertama yang dihidangkan adalah “Lady Madonna.” Hal yang menarik, yang kemudian menjadi pattern dari setiap nomor yang dibawakan pada malam itu adalah hanya sepenggal dari lagu aslinya, yang kemudian menjadi bagian dari karya yang mereka mainkan. Sisanya adalah eksplorasi gila-gilaan khas musisi yang berkiprah di dunia jazz. Selanjutnya, secara berurutan mereka menampilkan “Michelle”, “Norwegian Wood”, medley tiga lagu yaitu “Here, There, and Everywhere”, “Here Comes the Sun” serta “Penny Lane”, kemudian diikuti dengan “Blackbird”, “And I Love Her”, “Julia”, lalu medley tiga lagu “Yesterday”, “The Long and Winding Road”, dan “If I Fell.” Sebagai repertoar final, lagu The Beatles yang menjadi favorit saya, “Strawberry Fields Forever”, memberikan sentuhan magis yang tak kalah menghegemoni jika dibandingkan dengan versi aslinya. Penampilan mereka didukung pula dengan kehadiran seorang solois perempuan dan seorang solois laki-laki (saya lupa nama mereka) yang memberikan sentuhan vokal pada nomor “Blackbird” hingga medley yang kedua berakhir. Pada akhir pertunjukan, pola yang sama dilakukan sebagaimana dengan cara mereka memulainya. Satu-persatu para penampil meninggalkan arena pertunjukan, Indro dan Fajar meletakkan bass mereka, Andy meninggalkan kibornya, kemudian lampu yang sebelumnya menerangi mereka perlahan meredup, menyisakan sorotan terakhir kepada Yandi, sang dramer yang kemudian kembali menampilkan permainan solo nan aduhai. Ketika Yandi meninggalkan tempatnya, seperti yang saya ceritakan di awal, gegap gempita kemudian meriuhi ruang Teater Salihara bersama tepuk tangan meriah, juga standing applause dari beberapa penonton yang hadir malam itu.

Tanpa mengesampingkan kualitas dari Glen Dauna Project pada pertunjukan “Sayap Kecil Jimi Hendrix”, nama besar The Beatles mungkin menjadi magnet tersendiri bagi penonton yang hadir dalam pertunjukan “Ini Hanya The Beatles.” Ini terlihat dari komparasi jumlah penonton yang hadir dalam kedua pertunjukan. Pada pertunjukan pertama masih terlihat banyak kursi kosong di ruang Teater Salihara, kontras dengan pemandangan di pertunjukan kedua, dimana kursi yang tersedia diisi penuh, bahkan membuat penonton yang kehabisan tempat duduk meluber hingga ke dekat arena pertunjukan. Penonton yang hadir pada malam itu sekaligus menegaskan bahwa The Beatles tidak identik dengan para “generasi enampuluhan” atau “generasi tujuhpuluhan.” Cukup banyak penonton yang berasal dari golongan muda, saya melihatnya dari gaya berpakaian, bertutur, serta penampilan luar tentunya. Jangan dilupakan juga bahwa sang dramer dari Indro Hardjodikoro The Fingers juga masih “anak sekolahan.” The Beatles memang masih membius di era musik cahaya laser ataupun balada satu malam yang tanpa aura seperti sekarang ini.


Sekali lagi, sulit untuk melukiskan dalam kata-kata mengenai atraksi eksploratif pada malam itu. “Perkosaan” teramat brutal itu akan selalu terkenang dalam ingatan saya. Barangkali John Lennon, sang mastermind dari sebagian besar lagu yang dimainkan pada malam itu, menyunggingkan senyum ambiguis dari peraduannya. Senyum bahagia karena karya-karyanya masih tetap hidup di tahun 2014, juga senyum meringis akibat serangan sporadis-sistemik terhadap lagu-lagu yang ia karangkan entah sendirian atau bersama Paul McCartney, sang kompatriot tulen.   

(sumber gambar: https://acara-event.com/wp-content/uploads/2014/01/Salihara-Jazz-Buzz-2014.jpg)

No comments:

Post a Comment