June 8, 2013

Dalam Lingkupan Kehendak

Aku yang dikehendaki seperti ini. Meski inginku melayang-layang saja, lalu terhempas di atas daun-daun tua yang berserakan. Setidaknya, bersama sekumpulan daun-daun tua itu, kehampaan ini akan sirna. Aku berbagi realita dan imortalitas yang tapa moralitas, sebuah fase kehidupan yang tanpa noda, tanpa member duka bagi siapapun mereka di luar sana. Hanya terbersit kenangan, bahwa aku pernah menjadi sebuah kesatuan tanpa kekangan; ketika melayang-layang di angkasa bebas.
            Lalu aku membayangkan jika kereta ini berjalan tanpa pengendalinya. Lajunya akan seperti apa, akan jadi fluktuatifkah kecepatannya, atau bahkan kemana perginya sang pengendali. Padahal ia tercipta, terkehendaki untuk menjalani hidup sebagai seorang pengendali kereta. Ia tidak sewajarnya mengingkari kehendak itu. Kehendak entah siapapun itu yang berani berikhtiar akan hal itu. Tidak perlu memang, bertanya-tanya akan perihal tanpa jawaban seperti itu.
Tetapi aku terus-menerus bertanya, lambat laun tentang kehendak apa yang dijadikan kepadaku. Tetang bagaimana menghidupi setiap bagian yang menjadi kehendak itu. Tentang bagaiman untuk tidak bertanya bagaimana jika ini, bagaimana jika itu. Bagaimana jika… ah, percuma saja. Nonsens benar.
           
           Kereta ini bisa juga berhenti. Kehendaknya memang begitu. Kali ini, pengendalinya yang berkehendak. Pengendalinya yang tahu, kapan kereta ini harus melaju, harus berdiam, atau harus menggulingkan diri dari relnya. Tanpa harus ia tersenyum gembira, tanpa harus ia memancarkan bahagia. Ia dikehendaki untuk menjadi pengendali kereta. Kebebasan berkehendaklah yang menjadi haknya, mengenai kebebasan mau dibawa kemana kereta ini akan melaju. Kali ini pakta perjanjiannya adalah untuk berkata tidak kepada maut. Nyawa kami, kelanjutan hidup kami para penumpang kereta, yang berada dalam bagian terbawah dari struktur piramida kehendak yang tercipta. Lalu kami bisa apa?
           
Aku membayangkan diri menjadi bagian dari daun-daun tua yang kering. Aku membayangkan jika kereta yang aku tumpangi ini berjalan tanpa pengendalinya. Ini semua adalah kehendakku. Tanpa ada satupun yang bisa berkata tidak boleh akan itu. Para penumpang kereta yang terhormat, silakan kalian tenggelam dalam kebosanan yang memang dikehendaki menggerogoti kalian. Memang seharusnya seperti itu. Silakan pandangi apa saja, yang ada di dalam kereta ini, atau yang ada di luar kaca tebal kereta ini. Tetapi kehendakku, inginku untuk tenggelam dalam berbagai pembayangan semu. Silakan juga jika ingin membayangkan sesuatu, hal yang menurut kalian para penumpang, mengganggu lintasan pikiran kalian.
            Inilah saat dimana keputusasaanku menjadi satu dengan kesunyian. Di dalam bilik toilet kereta yang bergoyang kian gamang. Kali ini, aku mencari pembenaran dari kenangan, kenangan lama. Kemudian mempersatukannya dengan apa yang menjadi takdirku saat ini. Sungguh, aku masih bisa tersenyum lebar, meski tidak bahagia sedikitpun. Hanya dengan membayangkan hal-hal lama, yang bahkan sangat inkontekstual dengan penghidupanku sekarang ini. Hanya dari itu, dari kenangan-kenangan yang telah lama luput dari bayangku. Aku, dikehendaki untuk menjadi sesuatu yang ada dalam lamunanku. Aku, juga dikehendaki untuk menjadi apa yang kuhidupi saat ini. Kenangan-kenangan itu ahnya sebatas obat penawar pikirku. Sama sekali tidak menyembuhkan.
            Aku lantas terjebak dalam sebuah kebingungan, apa aku butuh obat yang bisa menyembuhkan? Entah, tidak kurasakan sedikitpun nyeri menerjang badan. Hanya terjebak dalam kehendak tentunya. Entah memang itu kehendaknya, atau bahkan aku yang sebenarnya menjauh dari kehendak yang dijatuhkan kepadaku? Aku terus berserah kepada senyuman. Dalam hampa tentunya.


KA Sritanjung, 2 Juni 2013

1 comment: