Aku yang dikehendaki seperti ini. Meski
inginku melayang-layang saja, lalu terhempas di atas daun-daun tua yang
berserakan. Setidaknya, bersama sekumpulan daun-daun tua itu, kehampaan ini
akan sirna. Aku berbagi realita dan imortalitas yang tapa moralitas, sebuah
fase kehidupan yang tanpa noda, tanpa member duka bagi siapapun mereka di luar
sana. Hanya terbersit kenangan, bahwa aku pernah menjadi sebuah kesatuan tanpa
kekangan; ketika melayang-layang di angkasa bebas.
Lalu aku membayangkan jika kereta
ini berjalan tanpa pengendalinya. Lajunya akan seperti apa, akan jadi
fluktuatifkah kecepatannya, atau bahkan kemana perginya sang pengendali.
Padahal ia tercipta, terkehendaki untuk menjalani hidup sebagai seorang
pengendali kereta. Ia tidak sewajarnya mengingkari kehendak itu. Kehendak entah
siapapun itu yang berani berikhtiar akan hal itu. Tidak perlu memang,
bertanya-tanya akan perihal tanpa jawaban seperti itu.
Tetapi aku terus-menerus bertanya,
lambat laun tentang kehendak apa yang dijadikan kepadaku. Tetang bagaimana
menghidupi setiap bagian yang menjadi kehendak itu. Tentang bagaiman untuk
tidak bertanya bagaimana jika ini, bagaimana jika itu. Bagaimana jika… ah,
percuma saja. Nonsens benar.
Kereta ini bisa juga berhenti.
Kehendaknya memang begitu. Kali ini, pengendalinya yang berkehendak.
Pengendalinya yang tahu, kapan kereta ini harus melaju, harus berdiam, atau
harus menggulingkan diri dari relnya. Tanpa harus ia tersenyum gembira, tanpa
harus ia memancarkan bahagia. Ia dikehendaki untuk menjadi pengendali kereta.
Kebebasan berkehendaklah yang menjadi haknya, mengenai kebebasan mau dibawa
kemana kereta ini akan melaju. Kali ini pakta perjanjiannya adalah untuk
berkata tidak kepada maut. Nyawa kami, kelanjutan hidup kami para penumpang
kereta, yang berada dalam bagian terbawah dari struktur piramida kehendak yang
tercipta. Lalu kami bisa apa?
Aku membayangkan diri menjadi bagian
dari daun-daun tua yang kering. Aku membayangkan jika kereta yang aku tumpangi
ini berjalan tanpa pengendalinya. Ini semua adalah kehendakku. Tanpa ada
satupun yang bisa berkata tidak boleh akan itu. Para penumpang kereta yang
terhormat, silakan kalian tenggelam dalam kebosanan yang memang dikehendaki
menggerogoti kalian. Memang seharusnya seperti itu. Silakan pandangi apa saja,
yang ada di dalam kereta ini, atau yang ada di luar kaca tebal kereta ini.
Tetapi kehendakku, inginku untuk tenggelam dalam berbagai pembayangan semu.
Silakan juga jika ingin membayangkan sesuatu, hal yang menurut kalian para
penumpang, mengganggu lintasan pikiran kalian.
Inilah saat dimana keputusasaanku
menjadi satu dengan kesunyian. Di dalam bilik toilet kereta yang bergoyang kian
gamang. Kali ini, aku mencari pembenaran dari kenangan, kenangan lama. Kemudian
mempersatukannya dengan apa yang menjadi takdirku saat ini. Sungguh, aku masih
bisa tersenyum lebar, meski tidak bahagia sedikitpun. Hanya dengan membayangkan
hal-hal lama, yang bahkan sangat inkontekstual dengan penghidupanku sekarang
ini. Hanya dari itu, dari kenangan-kenangan yang telah lama luput dari
bayangku. Aku, dikehendaki untuk menjadi sesuatu yang ada dalam lamunanku. Aku,
juga dikehendaki untuk menjadi apa yang kuhidupi saat ini. Kenangan-kenangan
itu ahnya sebatas obat penawar pikirku. Sama sekali tidak menyembuhkan.
Aku lantas terjebak dalam sebuah
kebingungan, apa aku butuh obat yang bisa menyembuhkan? Entah, tidak kurasakan
sedikitpun nyeri menerjang badan. Hanya terjebak dalam kehendak tentunya. Entah
memang itu kehendaknya, atau bahkan aku yang sebenarnya menjauh dari kehendak
yang dijatuhkan kepadaku? Aku terus berserah kepada senyuman. Dalam hampa
tentunya.
KA
Sritanjung, 2 Juni 2013
teruntuk Tessalonika Lydia :-))))))
ReplyDelete