March 27, 2013

Spektrum Tanpa Batas, Kekosongan oleh Semesta


 (Ditemani Susan Christie dan secangkir kopi dingin)

Aku bersandar sendirian, tanpa ada lalu-lalang, yang dari hulu ke hilir menghiasi permukaan jalan malam. Rasanya ingin mengutuk jiwa yang begitu cepat memudarkan cita, segala keinginan yang terukir dalam impian di masa yang telah lewat. Satu titik yang secara abstrak mengubah jalan pikiranku untuk bagaimana menyikapi perasaan yang hampa dan mengerikan ini, sebuah media bagiku untuk menyadari bahwa gemerlapan makna yang terselip dalam untaian kehidupanku tidak akan ada artinya dibandingkan dengan kekosongan jiwa, yang saat ini melingkupi tubuhku, dan tanpa ada rasa sedikitpun untuk lepas dari jeratan ini. Disini titik itu menemukanku, di saat dimana aku berharap ada angin malam yang membawaku menuju cita yang terukir dalam impian. Sepanjang waktu.
Sebelumnya, aku selalu merasa bahwa aku ditakdirkan untuk bermimpi yang indah-indah, dan segala kengerian yang pernah terlintas dalam pemikiran fanaku hanyalah selentingan debu yang terselip tanpa arti. Semua berjalan memang sebagaimana mestinya, karena semestinya memang semesta yang diam yang menentukan apa yang menjadi tahapan selanjutnya dalam hidupku. Bukankah wajar jika kita terjepit dalam situasi yang sulit, dimana ruang dan waktu semakin menipiskan garis kepercayaan terhadap apa yang disebut dengan iman? Tentu aku tidak bermaksud merujuk kepada semua orang yang ada di dunia, tetapi aku merasa menjadi bagian dari manusia, “kita” yang menurutku wajar untuk merasa sebagai subyek penuh kebebasan, bukan obyek yang menjadi bagian dari permainan seberapa jauh kualitas iman yang ada dalam setiap diri kita. Jika memang dirasa tidak pantas, maka aku tidak akan merujuk kepada frasa “kita”, aku adalah aku yang terus merasa bagian dari semesta yang diam, dan mereka yang kuanggap sebagai “kita” tidak perlu marah jika memang pengimanan akan suatu kepercayaan memang yang paling berkuasa dalam kualitas kehidupan manusia.
Titik ini, begitu kuat menerjang segala impian yang lama terkenang dalam laju hidupku sebelumnya. Secara kasat mata tidak dapat terlihat. Bahkan aku hanya bisa merasakannya, bentuknya secara pasti benar-benar tidak dapat terkira. Titik ini bukan berupa musibah, bukan sebuah kelimpungan yang menggerus jiwa ketika dihadapkan dalam situasi terjepit. Inilah kesenduan yang begitu mencekam, yang kehadirannya hanya bisa diraba melalu perjumpaan jiwa dengan nyawa semesta. Ia menjadi akar dari setiap mimpi yang bertumbuh dalam jiwa, ia yang mencabut semua mimpi itu dari jiwa, hingga ke ujung akarnya.
Terhadap mereka yang percaya akan iman yang menyelamatkan jiwa, terus terang aku ingin tahu, apakah benar segala kepasrahan akan mendatangkan berkat kebahagiaan? Apakah mereka juga pernah merasakan titik yang fana yang saat ini begitu menjerat jiwaku, yang tiba-tiba datang begitu saja, tanpa ada tanda-tanda yang menyertainya? Aku tidak merasa jatuh, apalagi kelimpungan. Aku hanya tidak ingin berlama-lama dihadapkan dalam posisi mencekam ini. Segala impian yang pernah mengisi jiwaku, kembalilah.
Atau memang seperti ini yang memang seharusnya terjadi: titik ini adalah awal mula dari kekosongan jiwa, yang akan mengisi setiap langkahku menuju kemurnian falsafah kehidupan. Sehingga yang akan kusadari adalah, bahwa mimpi-mimpi indahlah yang berlaku kejam, karena sejatinya kekosongan yang menjadi spektrum tanpa batas.


No comments:

Post a Comment