October 9, 2015

DIARI FILM #3: Lari, Sembunyi, dan Membisu





Persona 
Tahun produksi: 1966
Sutradara: Ingmar Bergman
Produser: Ingmar Bergman
Skenario: Ingmar Bergman
Sinematografi: Sven Nykvist
Pemain: Bibi Andersson, Liv Ullmann
Durasi: 84 menit
Bahasa: Swedia


Persona dibuka dengan potongan-potongan gambar berikut: alat kelamin pria yang sedang ereksi, cuplikan film slapstik, laba-laba, penyembelihan domba, sampai tangan manusia yang dipaku di kayu salib. Sampai di sini, bisa ditebak kalau Ingmar Bergman menggiring kita menuju fantasi yang jauh melampaui alam pikiran.

Kita lalu disuguhkan seorang anak laki-laki kurus, terbangun dari tidur, atau, mungkin dari ketidaksadaran. Dia lalu memakai kacamata bulatnya, membaca buku berjudul Var Tijds Hjalte. Sejenak kemudian, perhatiannya bergeser pada potret besar seorang wanita. Gambar itu diraba-raba olehnya. Sebentar. Itu bukan gambar seorang wanita saja, melainkan dua orang wanita. Satu wajah sebentar-sebentar berganti dengan wajah lain. Apakah perabaan itu wujud kerinduan anak kepada sosok ibu? 

Persona berpusat pada dua wanita, Elisabeth Vogler (Liv Ullmann) dan Suster Alma (Bibi Andersson). Seorang dokter (Margaretha Krook) menugaskan Alma merawat Elisabeth, aktris terkenal. Elisabeth terkulai lemah di sebuah kamar rumah sakit tanpa ada penyebab yang jelas. Padahal, sudah diperiksa bahwa jasmani dan rohaninya sehat. Namun, yang mengherankan sang dokter, perempuan itu tidak berbicara satu katapun. Elisabeth tidak bereaksi atas apa pun. Dan Alma didaulat untuk menolong Elisabeth, setidaknya, kembali berbicara. 

Alma mencoba menelusuri jiwa Elisabeth dengan segenap cara. Mulai dari mengantarkan makan malam hingga memperdengarkan siaran radio pengantar tidur buat si pasien. Rupanya dengan begitu Elisabeth bereaksi. Elisabeth bahkan menertawakan sebuah siaran radio yang diputarkan Alma. Isinya, drama radio. Elisabeth tergelakak kala mendengar ujaran perempuan pelakon, "What do you know about compassion?" 

Kita tak bisa langsung paham, apakah Elisabeth menertawakan compassion dalam arti "rasa iba" atau "kasih sayang". Namun, gelak itu bisa saja menjelaskan kalau dia tak lagi hirau akan kedua hal tersebut. Apatisme? Betulkah Elisabeth demikian tak acuh pada dunia sekitarnya?

Nyatanya, compassion itu masih dipunyai Elisabeth. Kita kemudian diperlihatkan Elisabeth yang bergidik ngeri, kecut hati, kala menonton siaran televisi tentang perkembangan Perang Vietnam. Berdiri di pojok kamar, sembari menggigil takut, Elisabeth tak kuasa menyaksikan gambar seorang biksu dilalap gelontoran api. Sikap itu seperti mengarsir pribadi Elisabeth: dia belum kehilangan rasa iba. Atau, jika diperhatikan lebih seksama, Elisabeth gentar pada penderitaan dan rasa sakit, seperti yang dirasakan sang biksu terbakar itu.  

Dan dokter yang menangani Elisabeth bukan orang sembarangan. Dokter menganggap "puasa" bicara Elisabeth cuma kedok belaka. "Tempat persembunyianmu bukannya tidak bisa ditembus. Kenyataan hidup menelusup dari mana saja. Dan kamu mesti bereaksi atas itu," kata sang penyembuh. Dengan hipotesis semacam itu, Elisabeth diberikan rumah tetirah sang dokter di pantai sebagai liang sembunyi baru. Namun dia tidak dilepas sendirian. Alma mendapat tugas baru: menemani sang pelakon hingga dia melepaskan topeng pembisuan dari wajahnya.  

Dan hubungan Alma dengan pasiennya semakin erat. Setidaknya, dalam anggapan sang perawat muda. Interaksi Alma dengan Elisabeth nyatanya bak seseorang sedang berbicara di muka cermin. Dalam kondisi begitu, Alma tak ambil pusing. "Banyak yang bilang, aku seorang pendengar yang baik. Namun sedikit yang mau jadi pendengarku. Kukira kamulah orang pertama yang mau jadi pendengarku," aku Alma kepada Elisabeth. 

Memang, berbicara dengan patung atau permukaan cermin terasa lebih nyaman ketimbang tak ada seorangpun sebagai pendengar. Kehadiran Elisabeth sangat berarti bagi Alma. Bahkan, Alma mengisahkan Elisabeth tentang pengalaman seksualnya bersama dua remaja. Hubungannya dengan Karl-Hendrik, tunangannya, pun dia beberkan kepada Elisabeth. "Aku dan dia tidak cocok," katanya sambil bercucur air mata.   

Dan cermin itu ternyata bukan cermin biasa. Alma kecewa tatkala mengetahui dirinya dijadikan objek pengamatan oleh Elisabeth. Itu dia baca dalam surat Elisabeth yang hendak disampaikannya kepada sang dokter. Surat itu tiada bersegel. "Mempelajari dia, sangat menyenangkan," demikian tertulis di surat itu. 

Sakit hati, Alma berontak dari tugasnya sebagai perawat. Sungguh jelas, hubungan mereka berdua bukan lagi antara pasien dengan perawat. Dan dengan agresif Alma mendesak Elisabeth membuka mulut. "Bicaralah apa saja. Tentang apa yang hendak kita makan malam ini, atau tentang cuaca hari ini cocok untuk berenang," desak Alma. Puncaknya, Alma hendak menyorongkan panci berisi air mendidih kepada Elisabeth. Dan tembok itu runtuh seketika. Topeng itu remuk perlahan. "Tidak, diam!!," kata Elisabeth, menghindar dari Alma yang tengah dirundung kemarahan. "Kau ketakutan, bukan? Sejenak, kau benar-benar merasa takut, bukan? Ketakutan luar biasa akan kematian?"

Persona, dalam arti sebenarnya, merujuk pada karakter yang dimainkan seorang aktor. Akar kata itu dari Bahasa Latin, berarti "topeng". Karakter yang dipilih Elisabeth adalah pembisu ulung. Atau, bisa juga dilihat sebagai cermin yang diam namun menertawakan cerita-cerita orang di hadapannya, yakni Alma. Sebagus apapun peran itu, senyata apapun topeng yang dikenakan, terbukti ada cacatnya. Dalam kasus Elisabeth, cacat itu sungguh alamiah: takut kematian. Dan, bagaimanapun, itu bukanlah cenangga. Tatkala menyaksikan ekspresi Elisabeth melihat biksu terbakar di televisi, sesungguhnya hal itu telah bisa kita ketahui.

Klimaks Persona nampaknya berelasi dengan adegan bocah meraba gambar besar perempuan di awal. Lewat sebuah monolog, Alma membeberkan kepada kita, sesuatu yang mungkin jadi alasan Elisabeth memilih persona-nya. Sang artis memilih menghindari kenyataan bahwa dia kini seorang ibu. Elisabeth kelihatannya menyesal telah melahirkan insan ke dalam dunia. Dia tak lagi leluasa menjalankan pekerjaan sebagai aktris. "Kewajiban itu (menjadi ibu) membuatmu bergidik, jadi terikat, dan meninggalkan teater. Rasa sakit menakutimu, kematian, bahwa kau akan hamil. Namun, kau menghindari peran itu. Peran sebagai calon ibu yang bahagia," ujar Alma. 




No comments:

Post a Comment