"Singkat kata, tujuan adalah solusi yang akan dengan sempurna memecahkan masalah-masalah yang dihadapkan pada manusia oleh kodrat dan kondisinya"
(Jean Baechler)
Fondasi yang Membangun
Ekspektasi dan ambisi menjadi dasar bagi
manusia untuk berperilaku. Secara konstruktif keduanya berdampak bagi
pertumbuhan kualitas diri seseorang menuju titian yang lebih tinggi dari apa
yang didapat dalam situasi tertentu. Raihan demi raihan yang dicapai oleh
manusia adalah buah dari implementasi keduanya, tentu disertai dengan
ketekunan, keberanian, keteguhan dan koleganya yang bernilai positif. Adanya penghargaan
dari setiap raihan tersebut tentu juga menjadi acuan untuk menggelorakan
ekspektasi maupun ambisi menjadi lebih nyata, bahkan menumbuhkan keduanya dari
yang tidak ada menjadi ada. Meskipun ada kalanya keduanya tidak sama sekali
terpengaruh oleh manisnya penghargaan, tercipta begitu selaras dengan ketulusan
moral untuk membentuk sebuah tatanan kemanusiaan baru yang lebih baik. Terciptanya
berbagai faham-faham yang menjadi falsafah hidup manusia sedikit banyak lahir dari
ketulusan moral tersebut. Untuk membuat seluruh elemen rakyat bersatu misalnya,
terciptalah faham demokrasi, pertama kali dibuktikan dalam prinsip
penyelenggaraan negara-kota Athena zaman dahulu. Untuk mengikis perbedaan kelas
yang menjulang akibat mewabahnya kapitalisme (yang notabene lahir dari
ketulusan moral, semata-mata untuk meningkatkan potensi manusia untuk
berekspansi), terciptalah sosialisme sebagai peletak dasar perjuangan kelompok
yang menentang perbedaaan kelas dan menuntut kesetaraan akan penghidupan yang
layak. Penghargaan bukanlah satu-satunya disinsentif bagi pelaksanaan sebuah
ekspektasi dan ambisi, bagi mereka yang sadar bahwa tatanan kehidupan manusia
sedang dalam situasi yang terpuruk, ketulusan moral untuk memperbaiki kualitas
hidup secara general menjadi katalis bagi percepatan sebuah ekspektasi maupun
ambisi untuk terejawantahkan dalam bentuk riil dan menyeluruh.
Toksin
yang Meruntuhkan
Sebuah kompetisi antarmanusia terbentuk
berdasarkan sebuah prinsip bahwa menjadi manusia yang unggul adalah nilai yang
paling luhur dalam hidup. Dari prinsip tersebut berkembang menjadi ekspektasi
dan ambisi, dapat diibaratkan sebagai landas pacunya, dan kompetisi sebagai
angkasa luas yang menjadikan ekspektasi dan ambisi tersebut berkembang menjadi
sebuah tindakan. Bila sebelumnya saya mengangkat keduanya merupakan faham yang
konstruktif, potensi dari keduanya menjadi sesuatu yang destruktif menjadi
sebuah fenomena yang mengemuka, bahkan dapat menguasai kadar konstruktifitasnya.
Ketika manusia dihadapkan dalam sebuah
titik dimana jalan menuju manusia yang unggul itu terhalang oleh satu dan lain hal,
ekspektasi dan ambisi seketika dapat meruntuhkan kualitas mental dalam diri
seseorang. Ketakutan akan tidak tercapainya kedua hal tersebut akan semakin
membawa manusia kepada sebuah kegagalan, sebuah jalan yang secara tidak sadar
dipilih manusia seiring dengan runtuhnya kualitas mentalnya. Disinilah terbukti
bahwa kadar konstruktifitas dari ekspektasi dan ambisi tidak ada apa-apanya
jika dibandingkan dengan kadar destruktifitasnya. Sebuah halangan yang terasa
berat menjadi pintu yang bercabang kepada sebuah kesuksesan dan sebuah
kegagalan, tentunya tidak akan ada titik temu antara keduanya, saling
berdikotomi tanpa ada cara untuk sebuah reparasi.
Lebih parahnya lagi, ketakutan tersebut
amat sangat mungkin dimanfaatkan oleh komplotan kompetitor yang peka akan masalah
yang dialami seseorang. Fenomenanya adalah, dalam suatu kelompok yang tercipta
hubungan baik dan selaras tidak selamanya saling mendukung dan memacu individu
untuk memaksimalkan ekspektasi dan ambisinya. Musuh dalam selimut, serigala
berbulu domba, entah apapun itu yang menggambarkan situasi dimana rekan sejawat
ataupun orang terdekat adalah kompetitor yang paling berbahaya bagi manusia. Ketika
manusia yang berekspektasi dan berambisi menemui halangan yang memberatkan, ia
akan sangat mengharapkan solusi (petuah bijak) akan masalahnya tersebut dan
amat sangat berterimakasih akan itu. Namun, dengan adanya ekspektasi dan ambisi
yang tidak hanya dimiliki seorang saja, tentunya dimiliki oleh kompetitor
lainnya, dalam hal ini si pemberi petuah merupakan kompetitornya, keduanya
mendorong seseorang untuk memberikan bangunan kata-kata yang dianggap baik bagi
manusia yang sedang terpuruk, padahal secara esensial merupakan kunci akan
semakin hancurnya manusia tersebut.
Tidak ada salahnya manusia berpetuah,
menelurkan kata demi kata untuk sebuah perubahan yang dapat memperbaiki
kualitas diri, entah dalam jiwa maupun pikiran. Setiap sebuah bangunan
kata-kata yang menjadi sebuah struktur pemberi acuan bagi seseorang untuk
meningkatkan standar bagaimana ia menjalani hidup, dapat dikira sebagai sesuatu
yang mahal harganya. Dan pada kenyataannya, patut dibedakan antara sebuah
bangunan kata-kata yang membangun, dengan sebuah bangunan kata-kata yang
destruktif dan tidak menggugah, tidak ada salahnya apabila manusia cenderung
memberikan acuan kata-kata untuk meruntuhkan sebuah niat baik, ataupun sebuah
cara hidup yang luhur, kepada seseorang, karena diantara manusia satu dengan
lainnya tergabung dalam sebuah kompetisi, untuk menjadi yang paling termulia
dibandingkan yang lainnya. Ekspektasi dan ambisi kadang bertalian dengan
kesuksesan, namun juga beriringan erat dengan kegagalan, imbas dari lemahnya
mental maupun bangunan kata-kata yang tidak membangun dari mereka yang dianggap
orang terdekat.
No comments:
Post a Comment