November 29, 2012

Filosofi Ekspektasi dan Ambisi (Pemikiran Lepas Di Tengah Situasi Panas Daerah Jalan Kaliurang)


"Singkat kata, tujuan adalah solusi yang akan dengan sempurna memecahkan masalah-masalah yang dihadapkan pada manusia oleh kodrat dan kondisinya"
(Jean Baechler)

Fondasi yang Membangun

Ekspektasi dan ambisi menjadi dasar bagi manusia untuk berperilaku. Secara konstruktif keduanya berdampak bagi pertumbuhan kualitas diri seseorang menuju titian yang lebih tinggi dari apa yang didapat dalam situasi tertentu. Raihan demi raihan yang dicapai oleh manusia adalah buah dari implementasi keduanya, tentu disertai dengan ketekunan, keberanian, keteguhan dan koleganya yang bernilai positif. Adanya penghargaan dari setiap raihan tersebut tentu juga menjadi acuan untuk menggelorakan ekspektasi maupun ambisi menjadi lebih nyata, bahkan menumbuhkan keduanya dari yang tidak ada menjadi ada. Meskipun ada kalanya keduanya tidak sama sekali terpengaruh oleh manisnya penghargaan, tercipta begitu selaras dengan ketulusan moral untuk membentuk sebuah tatanan kemanusiaan baru yang lebih baik. Terciptanya berbagai faham-faham yang menjadi falsafah hidup manusia sedikit banyak lahir dari ketulusan moral tersebut. Untuk membuat seluruh elemen rakyat bersatu misalnya, terciptalah faham demokrasi, pertama kali dibuktikan dalam prinsip penyelenggaraan negara-kota Athena zaman dahulu. Untuk mengikis perbedaan kelas yang menjulang akibat mewabahnya kapitalisme (yang notabene lahir dari ketulusan moral, semata-mata untuk meningkatkan potensi manusia untuk berekspansi), terciptalah sosialisme sebagai peletak dasar perjuangan kelompok yang menentang perbedaaan kelas dan menuntut kesetaraan akan penghidupan yang layak. Penghargaan bukanlah satu-satunya disinsentif bagi pelaksanaan sebuah ekspektasi dan ambisi, bagi mereka yang sadar bahwa tatanan kehidupan manusia sedang dalam situasi yang terpuruk, ketulusan moral untuk memperbaiki kualitas hidup secara general menjadi katalis bagi percepatan sebuah ekspektasi maupun ambisi untuk terejawantahkan dalam bentuk riil dan menyeluruh.

Toksin yang Meruntuhkan
Sebuah kompetisi antarmanusia terbentuk berdasarkan sebuah prinsip bahwa menjadi manusia yang unggul adalah nilai yang paling luhur dalam hidup. Dari prinsip tersebut berkembang menjadi ekspektasi dan ambisi, dapat diibaratkan sebagai landas pacunya, dan kompetisi sebagai angkasa luas yang menjadikan ekspektasi dan ambisi tersebut berkembang menjadi sebuah tindakan. Bila sebelumnya saya mengangkat keduanya merupakan faham yang konstruktif, potensi dari keduanya menjadi sesuatu yang destruktif menjadi sebuah fenomena yang mengemuka, bahkan dapat menguasai kadar konstruktifitasnya.
Ketika manusia dihadapkan dalam sebuah titik dimana jalan menuju manusia yang unggul  itu terhalang oleh satu dan lain hal, ekspektasi dan ambisi seketika dapat meruntuhkan kualitas mental dalam diri seseorang. Ketakutan akan tidak tercapainya kedua hal tersebut akan semakin membawa manusia kepada sebuah kegagalan, sebuah jalan yang secara tidak sadar dipilih manusia seiring dengan runtuhnya kualitas mentalnya. Disinilah terbukti bahwa kadar konstruktifitas dari ekspektasi dan ambisi tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kadar destruktifitasnya. Sebuah halangan yang terasa berat menjadi pintu yang bercabang kepada sebuah kesuksesan dan sebuah kegagalan, tentunya tidak akan ada titik temu antara keduanya, saling berdikotomi tanpa ada cara untuk sebuah reparasi.
Lebih parahnya lagi, ketakutan tersebut amat sangat mungkin dimanfaatkan oleh komplotan kompetitor yang peka akan masalah yang dialami seseorang. Fenomenanya adalah, dalam suatu kelompok yang tercipta hubungan baik dan selaras tidak selamanya saling mendukung dan memacu individu untuk memaksimalkan ekspektasi dan ambisinya. Musuh dalam selimut, serigala berbulu domba, entah apapun itu yang menggambarkan situasi dimana rekan sejawat ataupun orang terdekat adalah kompetitor yang paling berbahaya bagi manusia. Ketika manusia yang berekspektasi dan berambisi menemui halangan yang memberatkan, ia akan sangat mengharapkan solusi (petuah bijak) akan masalahnya tersebut dan amat sangat berterimakasih akan itu. Namun, dengan adanya ekspektasi dan ambisi yang tidak hanya dimiliki seorang saja, tentunya dimiliki oleh kompetitor lainnya, dalam hal ini si pemberi petuah merupakan kompetitornya, keduanya mendorong seseorang untuk memberikan bangunan kata-kata yang dianggap baik bagi manusia yang sedang terpuruk, padahal secara esensial merupakan kunci akan semakin hancurnya manusia tersebut.
Tidak ada salahnya manusia berpetuah, menelurkan kata demi kata untuk sebuah perubahan yang dapat memperbaiki kualitas diri, entah dalam jiwa maupun pikiran. Setiap sebuah bangunan kata-kata yang menjadi sebuah struktur pemberi acuan bagi seseorang untuk meningkatkan standar bagaimana ia menjalani hidup, dapat dikira sebagai sesuatu yang mahal harganya. Dan pada kenyataannya, patut dibedakan antara sebuah bangunan kata-kata yang membangun, dengan sebuah bangunan kata-kata yang destruktif dan tidak menggugah, tidak ada salahnya apabila manusia cenderung memberikan acuan kata-kata untuk meruntuhkan sebuah niat baik, ataupun sebuah cara hidup yang luhur, kepada seseorang, karena diantara manusia satu dengan lainnya tergabung dalam sebuah kompetisi, untuk menjadi yang paling termulia dibandingkan yang lainnya. Ekspektasi dan ambisi kadang bertalian dengan kesuksesan, namun juga beriringan erat dengan kegagalan, imbas dari lemahnya mental maupun bangunan kata-kata yang tidak membangun dari mereka yang dianggap orang terdekat.

No comments:

Post a Comment